Rekonstruksi Teori Qath’i dan Zhannî
Dalam kitab-kitab Ushûl fiqh, telah disepakati para ulama usûl, bahwa qath’i adalah yang secara tegas telah ditentukan oleh nash. Dalam pengertian yang lebih sesuai, qath’i dalam hukum Islam adalah sesuatu yang bersifat pasti, tidak berubah-ubah dan karena itu bersifat fundamental, yakni nilai kemaslahatan atau keadilan, yang notabene adalah ruhnya (spirit) dari sebuah hukum.
Ajaran qath’i adalah ajaran yang bersifat prinsip dan absolut, sebutlah misalnya ajaran-ajaran tentang kebebasan dan pertanggungjawaban individu, kesetaraan manusia (tanpa memandang jenis kelamin, warna kulit dan suku bangsa) di hadapan Allah. Juga ajaran tentang keadilan, persamaan manusia di hadapan hukum, tidak merugikan diri sendiri dan orang lain, kritik dan kontrol sosial, menepati janji dan menujunjung tinggi kesepakatan, tolong-menolong untuk kebaikan, yang kuat melindungi yang lemah, musyawarah dalam urusan bersama, kesetaraan suami-istri dalam keluarga, dan saling memperlakukan yang ma’ruf (mu’âsyarah bi al-ma’ruf) diantara suami dan istri.
Ayat-ayat Qath’i sesungguhnya bersifat prinsip dan menjadi kekuatan moral-etik yang tidak diperselisihkan oleh berbagai kelompok atau menjadi lintas madzhab dan agama. Karena itu, kebenarannya tidak dapat diperselisihkan. Dengan mendasarkan pada ayat yang qath’i tersebut, tentu tidak kehilangan referensi tekstual sebagai dasar, sehingga tidak terlepas dari kerangka acuan dalam merumuskan hukum.
Dalam bahasa lain, istilah qath’i dan zhannî disebut juga muhkamât dan mutasyâbihât. Dengan pendekatan transformatif, mengkaji ulang konsep muhkamât dan mutasyâbihât adalah penting sebagai pembuka bagi seluruh bangunan pemahaman terhadap ayat-ayat, yang berarti pemahaman ayat-ayat itu sendiri secara keseluruhan.
Bertitik tolak dari mempersepsikan ayat sebagai “perlambang dari kebenaran” yang dipesankannya, maka pendekatan transformatif mendefinisikan ayat muhkamât dan mutasyâbihât bukan dari sudut verbal bahasa, melainkan dari sudut substansi makna yang dikandungnya.
Ayat muhkamât adalah ayat yang menegaskan prinsip-prinsip secara eksplisit maupun implisit oleh setiap manusia dami fitrahnya sendiri sebagai manusia.
Sementara zhannî secara harfiyah berarti persangkaan atau hipotesis yang merupakan kebalikan dari yang qath’i (kategoris). Yakni ajaran atau petunjuk agama baik dari al-Qur'an maupun hadis Nabi yang bersifat jabaran (implementatif) dari prinsip-prinsip yang universal.
Ajaran zhannî tidak mengandung kebenaran atau kebaikan pada dirinya sendiri, tidak self evident dalam bahasa filsafatnya. Karena itu, berbeda dengan yang qath’i, ajaran zhannî terikat oleh ruang dan waktu, oleh situasi dan kondisi. Yang masuk kategori zhannî adalah seluruh ketentuan batang tubuh atau teks, ketentuan normatif yang dimaksudkan sebagai upaya untuk menterjemahkan yang qath’i (nilai kemaslahatan atau keadilan dalam kehidupan nyata.
ketentuan-ketentuan agama yang dalam fiqih disebut sebagai ketentuan hukum (kecuali ketentuan etik-normatif tentang baik-buruk, halal-haram) adalah zhannî. Karena sifatnya zhannî, relatif, ia terikat oleh dimensi ruang dan waktu. Karena itu, hukum potong tangan bagi pencuri, lempar batu bagi pezina, prosentase pembagian waris, monopoli hak talaq bagi suami, keterlibatan wali dalam nikah, dan ketentuan-ketentuan lain yang bersifat non-etis, masuk kategori yang zhannî. Dengan demikian, ajaran zhannî bisa dimodifikasi.
Seperti halnya dengan ayat muhkamât, ayat mutasyâbihât pun tidak mempersoalkan apakah dari sudut bahasanya bersifat tegas atau bersifat samar-samar. Yang menjadi titik pijak adalah bagaimana cita keadilan dan kemaslahatan sebagai prinsip yang fundamental diwujudkan.
Akan tetapi, implikasi dari pemahaman yang seperti itu adalah bahwa ayat muhkamât atau qath’i yang bersifat universal tidak memerlukan terobosan ijtihâd . Yang bisa dilakukan terobosan ijtihâd adalah ayat-ayat mutasyâbihât atau zhannî. Yakni definisi tentang mashlahât atau keadilan dalam konteks ruang dan waktu yang nisbi. Kerangka normatif yang memadai sebagai pengejawantahan dari cita kemaslahatan atau keadilan dalam konteks ruang dan waktu tertentu, kerangka kelembagaan yang memadai bagi sarana aktualisasi norma-norma kemaslahatan, keadilan dan realitas sosial yang bersangkutan.
Sudirman Tebba sepakat dengan pemikiran Masdar Farid. Menurutnya, pemahaman qath’i dan zhannî sekarang ini sudah tidak memadai lagi, karena munculnya tantangan baru dalam kehidupan sosial. Akibatnya membuat umat Islam berpegang kepada pengertian yang tersirat atau semangatnya, bukan pada yang tersurat menurut bahasa suatu nash atau ayat, sehingga yang semula dianggap qath’i menjadi tidak qath’i lagi.
Kesempurnaan ajaran al-Qur'an bukanlah dalam dataran tehnis yang bersifat detail, rinci dan juziyyahnya, melainkan pada dataran prinsipil dan fundamental. Dan ajaran-ajaran prinsipil yang dimaksud dalam al-Qur'an selaku kitab suci agama adalah ajaran spiritualitas dan moral, ajaran tentang mana yang baik dan mana yang buruk untuk kehidupan manusia sebagai hamba Allah yang berakal budi. Sebagai acuan moral dan etika yang bersifat dasariah, al-Qur'an sepenuhnya sempurna.
Pesoalan apa pun yang muncul dalam kehidupan manusia yang dinamis dan terus berubah bisa dicarikan jawabannya (dari sudut moral) dengan mengembalikan kepada ajaran-ajaran al-Qur'an yang prinsipil. Karena itu untuk menangkap petunjuk al-Qur'an atas persoalan-persoalan etika yang dihadapi dalam kehidupan nyata, terlebih dahulu harus mencari prinsip-prinsip yang ada di balik teks Al Qur’an.
Post a Comment