Analisis Sederhana Lirik Lagu Iwan Fals: Semoga Kau Tak Tuli Tuhan
Begitu halus tutur katamu
Seolah lagu termerdu
Begitu indah bunga-bungamu
Diatas karya sulam itu
Tampilkan kebajikan seorang ibu
Dengarlah detak jantung benihku
Yang ku tanam dirahim mu
Seakan pasrah menerima
Semua warna yang kita punya,
Segala rasa yang kita bina
Ku harap kesungguhanmu,
Kaitkan jiwa bagai sulam dikarya itu
Ku harap keikhlasanmu,
Sirami benih yang ku tabur ditamanmu.
Oh jelas, rakit pagar semakin kuat
Tak goyah, walau diusik unggas.
Pintaku pada Tuhan mulia
Jauhkan sifat yang manja
Bentuklah segala warna jiwanya
Diantara lingkup manusia
Di arena yang bau busuknya luka
Bukakan mata pandang dunia
Beri watak baja padanya
Kalungkan tabah kala derita
Semoga kau tak tuli Tuhan,
Dengarlah pinta kami sebagai orangtuanya
foto jadul iwan fals |
Diantara alasan kenapa saya ingin mengkaji lirik tersebut, salah satunya adalah ketertarikan pada judul lagunya, “semoga kau tak tuli tuhan”. Bagi saya judul tersebut sangat islami dan mengandung bahasa yang seperti bertentangan, namun justru di situlah letak kehebatannya.
Dalam ilmu ushul fiqh ada bab tentang mafhum mukhalafah, yaitu memahami suatu pengertian dengan berbeda dari ucapan/tulisannya.“Semoga kau tak tuli tuhan” sama dengan atau selaras dengan ucapan “Sami’a allahu liman hamidahu” yang biasa diucapkan seorang muslim ketika bangun dari i’tidal.
Sebenarnya Tuhan tidaklah pernah dan tidak mungkin tuli. Karenanya kalimat judul tersebut haruslah dipahami dengan mafhum mukhalafah. Itulah yang keindahan dari bahasa yang digunakan oleh Iwan Fals.
Puisi –kalau boleh saya katakan itu adalah puisi, secara pemahaman saya yang masih sangat dangkal, merupakan nasehat seorang suami pada istri, dan doanya kepada Tuhan untuk seorang anak. Begitu halus tutur katamu/Seolah lagu termerdu/Begitu indah bunga-bungamu/Diatas karya sulam itu/Tampilkan kebajikan seorang ibu. Pada bait tersebut merupakan pujian suami kepada istri yang telah bersikap lembut dan berkarya dengan sebaik-baiknya.
Pada bait kedua, Dengarlah detak jantung benihku/Yang ku tanam dirahim mu/Seakan pasrah menerima/Semua warna yang kita punya/Segala rasa yang kita bina. Ini adalah himbauan seorang suami kepada istri supaya benar-benar ikhlas dan pasrah dengan apa yang telah diwariskan kepada sang anak. Karena sudah menjadi hal yang wajar, bahwa anak akan mewarisi apa yang ada dari kedua orang tuanya yang nantinya akan diterima.
Pada sajak ketiga, Ku harap kesungguhanmu/Kaitkan jiwa bagai sulam dikarya itu
Ku harap keikhlasanmu/Sirami benih yang ku tabur ditamanmu. Pada bait ketiga itulah sang suami benar-benar ingin sang istri bersungguh-sungguh dalam membina dan mendidik anaknya.
Kenapa harus sang ibu? Karena sang ibu sangat berpengaruh dalam menentukan perkembangan berpikir dan pendidikan seorang anak. Sang ibulah yang benar-benar tahu kondisi psikis, kebiasaan, tabi’at seorang anak. Perumpamaan yang digunakan pun sangat teliti, -kaitkan jiwa bagai sulam di karya itu.
Menyulam adalah kegiatan yang memerlukan ketilitian maksimal, karena salah satu kotak dan warna pun akan memengaruhi kwalitas dan kehadiran jiwa dalam sebuah karya. Hal ini menunjukan, bahwa dalam mendidik seorang anak, tidak begitu saja menggunakan akal dan rasional saja, tetapi juga dengan pendekatan jiwa, pendekatan emosional. Ibaratnya anak adalah karya seni yang harus diapresiasi dengan jiwa, bukan semata dengan rasio saja.
Pada bait selanjutnya sampai terakhir tidak lain adalah sebuah do’a, Oh jelas, rakit pagar semakin kuat /Tak goyah, walau diusik unggas/Pintaku pada Tuhan mulia/Jauhkan sifat yang manja, inilah puncak dari segala usaha yang telah diupaya, yakni pasrah.
Proses akhir dari bentuk usaha adalah tawakkal dan pasrah, bahwa segala sesuatu adalah menjadi kehendak Tuhan, karena manusia sifatnya terbatas, sedangkan Tuhan adalah tak terbatas. Berikut adalah do’a yang diucapkan.
Bentuklah segala warna jiwanya/Diantara lingkup manusia/Diarena yang bau busuknya luka, bila diamati, doa tersebut amatlah sangat sederhana, tidak terlalu muluk-muluk, yakni hanya ingin dijauhkan dari sifat yang manja. Manja bisa diartikan juga tidak mandiri, bila sudah tidak bisa mandiri, orang akan menjadi penakut, minder, dan sulit untuk bersosialisasi dengan masyarakat, karena baginya ia tak bisa melakukan apa-apa.
Bukakan mata pandang dunia/Beri watak baja padanya/Kalungkan tabah kala derita/Semoga kau tak tuli Tuhan/Dengarlah pinta kami sebagai orangtuanya. Pada kondisi kehidupan yang permasalahannya sudah sebegini kompleks, mulai dari hilangnya norma agama sebagai fungsi kontrol manusia dalam bertindak, paradigma konsumerisme, komoditi dan kekerasan, dan lain sebagainya.
Adalah bukti bahwa masyarakat kita sudah kehilangan mental dalam mengahadapi problem semacam itu. Inilah puncak dari do’a yang ada dalam lirik bait-bait terakhir. Ia berharap agar sang anak dikaruniai watak seperti baja, sekeras dan sekeji apapun realitas pada saat ini akan ia hadapi dengan mental bak baja. Watak baja merupakan watak yang mampu membentengi sekaligus menyerang segala persoalan, baik itu kapasitasnya kecil, maupun besar. Ia akan hidup dengan nalar baja.
Penyair bukanlah orang yang pintar berdoa dengan kata-kata yang indah yang mampun menghayutkan pembaca atau pendengar, namun seorang penyair adalah orang pandai dalam menyampaikan doanya secara sederhana, bahasa yang sistematis, dan sesuai dengan kebutuhannya.