Berpikir ala al-Qur’an
QOWIM.NET - Berpikir merupakan aktifitas manusia yang kontinyu, setiap manusia mempunyai pikiran atas apa yang dilihat atau diamati, sebab manusia diberikan sesuatu yang berbeda dari makhluk yang lain, yaitu: akal.
Secara kasat mata atau secara klinis, seseorang bisa dikatakan waras atau gila tergantung pada fungsinya akal. Apabila akal sudah tidak berfungsi, bahkan kehilangan akal sehatnya, maka ia akan disebut sebagai orang gila. Inilah yang disebut sebagai akal sehat manusia. Untuk membedakan baik dan buruk, atau salah dan benar.
Sebagai orang muslim yang mempunyai tradisi bayani, yakni tradisi teks (al-Qur’an dan hadits) yang diyakini sebagai kebenaran absolut dari Allah swt. sebab al-Qur’an bagi umat muslim dianggap sebagai kamus hidup untuk mencapai keselamatan di dunia dan akhirat, mengingat di dalam al-Qur’an juga sangat menghargai manusia untuk berpikir.
Oleh sebab itulah, sangat perlu untuk melihat bagaimana sebenarnya al-Qur’an memberikan petunjuk bagi manusia untuk berpikir.
Berpikir di dalam al-Qur’an terwakili dengan kata ya’qilun, yandhurun, ya’syirun, yatafakkarun, beserta dengan derivasinya. Namun semua bentuk derivasinya tidak ada dalam bentuk isim, semua berbentuk fi’il. Hal ini menunjukkan bahwa aktifitas berpikir adalah aktifitas yang membutuhkan kontinuitas.
Kata ya’qilun di dalam al-Qur’an secara mayoritas mempunyai arti suatu pemahaman yang bisa menambah pengetahuan (al-Asfihani, 2004, 382). Dan seseorang yang tidak bisa menggunakan inderanya dengan baik, maka ia termasuk orang yang tidak berpikir. (QS. Al-Baqarah: 171, al-Ankabut: 43).
Kata yandhurun di dalam al-Qur’an mayoritas mempunyai arti melihat, namun tidak sekedar melihat, tetapi bisa merenungkan tentang sesuatu yang bisa diambil hikmahnya (al-Asfihani, 2004, 552) misalnya di dalam QS. Al-Ghasyiyah: 17, al-A’raf: 185. Hal ini menunjukkan bahwa kata yandhurun juga merupakan proses berpikir atau permenungan untuk mencapai pemahaman dengan baik tentang sesuatu.
Kata yasy’urun di dalam al-Qur’an mempunyai arti berpikir dengan menggunakan indera, hal ini dipertegas dengan di dalam QS. Az-Zumar: 55, al-Hujurat: 2 (al-Asfihani, 2004, 294). Hal ini
Kata Yatafakkarun di dalam al-Qur’an mempunyai arti upaya berpikir untuk mengetahui sesuatu yang bisa bisa diketahui (al-Asfihani, 2004. 430). Berpikir di sini khusus atas sesuatu yang empiris bisa diketahui dengan panca indera, misalnya di dalam QS. Ar-Rum: 8, al-A’raf: 184.
Demikianlah macam-macam kata di dalam al-Qur’an yang mempunyai makna berpikir.
Allah menyuruh manusia untuk berpikir dan merenung.
Bermacam kata yang telah penulis sebutkan di atas, mayoritas berbentuk fi’il mudhari’ dan istifham inkari, misalnya afala ta’qilun, afala yandhurun, afala tatafakkarun, afala yasy’urun. Semua kalimat tersebut bukanlah kalimat istifham hakiki yang berfaidah bertanya, namun sebaliknya, untuk meniadakan perbuatan tersebut. Kalimat yang dikehendaki sebenarnya adalah “akalmu sudah tidak berguna.”
Misalnya di dalam QS. Al-Baqarah: 44 Bukankah kamu memerintahkan manusia untuk berbuat baik sedangkan kamu sendiri lupa diri, padahal kamu juga membaca kitab, apakah kamu tidak berpikir?. Ini menunjukkan bahwa menurut Allah, menyuruh melakukan kebaikan tapi tidak melakukannya sendiri merupakah hal yang tidak masuk akal.
Oleh karena itulah sebagai manusia, di samping kita menyuruh melakukan kebaikan, kita juga harus melakukannya, tidak hanya jarkoni, iso ngujar gak iso ngelakoni, kata pepatah jawa. Bila kita jarkoni, maka menurut al-Qur’an kita disebut sebagai orang yang tidak berpikir.
Cacat intelektual, mungkin itu kalimat yang pas ketika manusia mendurhakai Allah dengan segala penciptaan-Nya, sebab sering kali al-Qur’an menceritakan umat-umat terdahulu yang menyembah berhala dan menyekutukannya, di dalam kisah Ibrahim disebutkan bahwa pembuktian argumentatif nabi Ibrahim ditolak mentah-mentah Namrud pada saat itu, kemudian Namrud dan kaumnya disebut sebagai orang-orang yang tidak mau berpikir rasional.
Bayangkan saja, patung yang mereka sembah tidak pernah bisa mendengar doa-doa, bahkan tidak bisa melindugi dirinya sendiri dari kerusakan. Kemudian patung-patung tersebut dihancurkan oleh nabi ibrahim. (lihat QS. Al-Anbiya’: 57-70).
Kemudian permenungan atau kontemplasi, di dalam al-Qur’an sering kali menyatakan untuk memikirkan hal-hal yang mungkin terlepas dari kendali manusia atau manusia tidak terlalu memperhatikannya.
Seperti manusia disuruh untuk memikirkan hujan yang bisa menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, lalu ada buah-buahan yang bisa dimakan oleh manusia dan binatan ternak. (Qs. Yunus: 24). Begitu pula manusia disuruh untuk merenungkan bagaimana seekor unta bisa diciptakan (al-Ghasyiyah: 17). Itu semua hanya untuk merangsang manusia agar mau mengakui kebesaran Allah yang menciptakan segala sesuatu di muka bumi ini sekaligus dengan keperluannya.
Kebebasan Berpikir (kritis)
Al-Qur’an, sekali lagi sangat menghargai sebuah pemikiran untuk mencapai kebenaran secara rasional dan empiris. Contoh kejadian Nabi Ibrahim pun sebenarnya sudah mewakili untuk merangsang manusia agar mengkritisi kejadian yang tidak masuk akal, atau nalar yang tidak berkembang dengan baik.
Ibrahim juga membuktikan secara empirik bahwa apa yang dikatakannya tentang ketidakmampuan berhala untuk melindungi dirinya sendiri, lalu dia menghancurkan berhala-berhala yang kecil-kecil, lalu palunya dikalungkan di leher berhala yang paling besar, ketika ditanya ia menjawab bukan aku yang melakukan, tapi berhala yang paling besar itulah pelakunya. Itu tidak kurang masuk akal dan empiris.
Namun, kita sebagai umat muslim yang iman dengan al-Qur’an harus percaya bahwa pemikiran yang keluar dari kode etik al-Qur’an maka itu tidak dibenarkan. Oleh sebab itulah sakralitas kesucian al-Qur’an bagi umat muslim merupakan koridor dan frame bagi kita dalam berpikir.
Saat seperti inilah, fungsi akal dan wahyu dipertanyakan, mana yang paling diutamakan atau mana yang harus dinomorduakan. Dan ini sudah dibahas secara mendalam oleh aliran teologi terdahulu seperti Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Sebenarnya pada wilayah ini bukan al-Qur’an yang diperdebatkan, namun hanya sebatas wilayah interpretasi sejauh mana akal bisa menjangkau tentang Allah swt.
ما اصابك من حسنة فمن الله وما اصابك من سيئة فمن نفسك
Post a Comment