Pergumulan Tiga Jaringan Intelektual dalam Islam
Table of Contents
Abstrak
Dalam tradisi jaringan
intelektual Islam menurut Amin Abdullah yang terbagi menjadi tiga, yakni Ulum
ad-Din, Fikr al-Islami, dan Dirasat al-Islamiyah merupakan tiga poros yang
tidak bisa dijalankan secara parsial dan sendiri-sendiri dalam perkembangan
agama Islam, namun dikombinasikan antara satu dengan yang lain untuk
menghasilkan kesimpulan yang utuh sekaligus mengakomodir semua pihak yang
terkait. Ketika ketiga jaringan tersebut masih berjalan secara individual,
sekaligus tanpa menyentuh aspek disiplin ilmu yang lain, maka akan terjadi lagi
pengkotak-kotakan tradisi keilmuan yang sampai hari ini semakin kronis-akut.
Keywods: Ulum
ad-Din, Fikr al-Islami, dan Dirasat al-Islamiyah
Iftitah
“act
locally, and think globally”[1]
(bertindaklah sesuai dengan norma tradisi lokal, dan berpikirlah sesuai dengan standar
etika global). Ungkapan tersebut yang penulis temukan dalam tulisan berjudul Mempertautkan
‘Ulum ad-Din, al-Fikr al-Islami, dan Dirasat al-Islamiyah:
Sumbangan Keilmuan Islam untuk Peradaban Global oleh Amin Abdullah. Sepertinya
ungkapan tersebut pada hari ini hanya sebatas menjadi slogan saja ketika kita
berkaca pada fakta-fakta sekarang yang selalu menghiasi media-media informasi,
baik televisi, internet, maupun media cetak. Hanya sebatas memberikan contoh
seperti tragedi umat Syi’ah di Sampang, Ahmadiyah di Cikeusik, pembubaran
tempat beribadah, dan semacamnya dimungkinkan ada sesuatu yang salah dalam cara
pandang masyarakat Indonesia pada umumnya. Bahkan memunculkan buku-buku yang
bercorak sinis dengan aliran Syi’ah sampai menjustifikasi sesat, kafir dan
semacamnya.[2]
Sehingga ungkapan act locally akan berhenti dan tidak sampai pada think
globally, atau malah jumbuh menjadi act and think locally.
Dari
tragedi-tragedi yang bermula dari agama tersebut, menunjukkan bahwa semangat
golongan mayoritas di sebuah masyarakat merasa tidak menerima/menolak semua
ajaran-ajaran yang berlainan dengan ide-ide yang dianggap sudah mapan bagi
golongan mayoritas tersebut. Sedangkan masing-masing dari semua golongan
sama-sama mencoba untuk mempertahankan identitas-identitasnya, seperti etnis,
kultur, politis, dan semacamnya. Hal demikian tidak sepenuhnya salah memang,
namun persoalannya adalah ketika dari semua golongan saling bertemu dan
berdialog, kenapa masih mementingkan kepentingan pribadi masing-masing
golongan, dan melupakan kemaslahatan bersama untuk hidup dan fastabiqu
al-khairat secara sportif dalam membangun dan mempertahankan stabilitas
masyarakat yang aman, damai, dan sejahtera?.
Untuk
mendamaikan dan menyelaraskan pola pikir secara universal memang tidak semudah
membalik telapak tangan, namun dari artikel yang menjadi sumber primer catatan
ini, bagi penulis cukup untuk membuka wacana sekaligus solusi keberagamaan dan
membentuk world view kita untuk memahami pelbagai konflik yang terjadi
di tengah-tengah kancah lokal, nasional maupun internasional. Dalam catatan
ini, penulis akan mencoba untuk mendeskripsikan beberapa hasil pembacaan dari
artikel berjudul Mempertautkan ulum ad-Din, al-Fikr al-Islami, dan Dirasat
al-Islamiyah: sumbangan keilmuan Islam untuk peradaban global.
Pendidikan
Sebagai Gerbang Utama
Dari pengantar
di atas, rasanya kurang efektif apabila hanya sebatas wacana yang harus diketahui
oleh kalangan terpelajar. Oleh karenanya untuk mengimplementasikan usaha
mendamaikan pertentangan-pertentangan yang ada pada tubuh islam dan antara
Islam dan di luar Islam, maka dibutuhkan gerbang awal yang harus dilakukan
untuk melendingkan act locally and think globally tersebut. Amin
Abdullah berpendapat:
“…pendidikan
menurut hemat penulis, merupakan alat yang dapat mencerahkan peradaban.
Pendidikan yang terstruktur dan terestimasi secara utuh, yang diharapkan dapat
memberi peta yang utuh, lengkap dan komprehensif tentang keislaman amat
diperlukan oleh warga masyarakat luas, termasuk para alumni perguruan tinggi
umum. …diperlukan konsep-konsep baru yang dapat mencerahkan, yang dapat
mengolah dan meramu kembali silabi, kurikulum, metode, pendekatan, filosofi
pendidikan Islam yang dapat mengantarkan para peserta didik dan masyarakat luas
untuk tetap berpikir jernih, santun, etis, penuh pertimbangan yang rasional dan
logis…”[3]
Ini merupakan
proyek besar yang memerlukan proses yang panjang. Mengingat tradisi
kependidikan di Indonesia tidak hanya di bangku-bangku sekolah dan perkuliahan,
tetapi juga pesantren-pesantren yang didasarkan pada otoritas individu guru
sekaligus masih kuat dengan kultur tradisionalnya.[4]
Di sisi lain (perguruan tinggi) fokus pada pembaharuan-pembaharuan Islam (wa
al-akhdzu bi jadidi al-aslah), dan di sisi lain pula (pesantren) sangat
memegang teguh warisan-warisan turats yang disebut sebagai ulama salaf (al-muhafadhah
‘ala qadim as-shalih). Sedangkan untuk mengkolaborasikan orientasi keduanya
(al-muhafadha ‘ala qadim as-shalih wa al-akhdzu bi jadidi al-aslah) juga
tidak mudah. Amin Abdullah dalam menyikapi hal ini, akan penulis deskripsikan
dalam pembahasan selanjutnya yang terangkum pada empat fase dalam studi agama.
Empat Fase
Studi Agama
Untuk
merealisasikan pendidikan yang berbasis intelektual, maka dibutuhkan jenjang
studi agama yang terbagi menjadi empat fase. Penulis memahami empat fase studi
agama di sini sebagai empat fase yang secara bertahap dilalui oleh masyarakat
beragama, terutama kaum terpelajar. Pertama, adalah tahapan Local.
Menurut Amin Abdullah, semua agama pada era prasejarah (prehistorical period)
dapat dikategorikan local. Semua praktik tradisi, kultur, adat istiadat, norma,
bahkan agama adalah fenomena lokal.[5]
Praktik-praktik lokal itu kemudian menjadi identitas yang melekat pada manusia
sebagai individu maupun kelompok secara lokal. Namun, identitas lokal tersebut,
akan mendapat ujian ketika pada suatu saat ia harus berhadapan dengan adat
istiadat, budaya, norma, dan aturan-aturan, sistem ritual yang “lain” yang
datang dari wilayah lain. Dalam perjumpaan itulah, meminjam bahasa Amin Abdullah
yakni munculnya keraguan (doubt). Penulis tertarik dengan ilustrasi yang
disampaikan, yakni bagi orang purba dahulu, kehadiran orang atau kelompok lain
selalu dianggap sebagai ancaman yang akan memusnahkan keberadaannya atau
mengganggu kepentingannya (Threat of Extinction). Perasaan terancam ini
kemudian diselesaikan dengan cara anarkhis, seperti menghina, bertindak kejam,
menyerang dan menundukkan kelompok lain yang dianggap sebagai ancaman.[6]
Pada fase ini belum terlintas perlunya partisipasi penuh dan aktif dari semua
pihak yang berbeda golongan untuk secara bersama-sama mengelola pemerintahan
dengan baik dan mengelola konflik yang mengelilingi mereka dengan cerdas agar
masing-masing kelompok bisa hidup dengan damai dan saling menghormati.
Barangkali, kejadian-kejadian akhir-akhir ini yang diselesaikan secara
kekerasan, kesimpulan penulis dengan memakai optic Amin Abdullah,
merupakan tindakan orang purba terdahulu.
Fase kedua adalah canonical atau
propositional. Era agama-agama besar di dunia masuk dalam kategori ini. Munculnya
agama Ibrahimi, dan agama-agama timur yang mayoritas menggunakan teks kitab
suci merupakan babak baru tahapan sejarah perkembangan agama-agama dunis pasca prehistoric
religions di atas. Budaya oral (lesan) yang dahulu digunakan, pada
fase ini berubah menjadi budaya written (tulis). Menurut Amin Abdullah,
ketika norma-norma, aturan-aturan, kesepakatan-kesepakatan tradisi lokal
berhasil ditulis dan dibukukan maka sejarah manusia memasuki babakan baru yakni
canonical.[7]
Fase ketiga
adalah Critical. Babak critical ini terjadi pada abad ke 16 dan 17,
ketika kesadaran beragama di Eropa mengalami perubahan yang radikal, yang
disebut sebagai abad pencerahan (enlightenment) yang bermula dari
temuan-temuan sains yang berbeda dengan pihak otoritas gereja.[8]
Meskipun ini bagian dari gejolak Eropa, namun pada faktanya merambah ke
berbagai tradisi agama-agama dunia. Agama-agama tradisional mengalami goncangan
yang berat sehingga memaksa para penganutnya untuk memikirkan kembali secara
menyeluruh asumsi-asumsi dasar yang telah menjadi kepercayaan yang dianggap
final.[9]
Selain itu, pada fase critical ini, banyak para penganut agama yang mempelajari
agama-agama lain untuk mengetahui hakikat agama, asal-usul, sejarah
perkembangannya, tradisi inilah yang berkembang secara kontinyu dan menjadi
budaya dalam dunia akademis, yang bertujuan untuk menghilangkan doubt
dalam diri pribadi dan dalam kehidupan sosial dengan cara melakukan pengamatan
dan riset.
Keempat adalah
fase Global. Fase global mempunyai arti bahwa tradisi-tradisi yang
bersifat lokal –hanya sebatas contoh, fenomena penganut fiqih mayoritas– ketika
para muslim imigrant ke negara lain yang secara fiqih tidak menganut paham
madzhab fiqih yang mereka anut, apakah mereka memegang teguh fiqih sebagai
produk siap konsumsi yang selama ini mereka anut, ataukah terlebih dahulu
menimbang-nimbang, dan menyesyuaikan tradisi, norma-norma, dan nilai etika
negara yang baru mereka tempati. Walhasil, tradisi lokal keberagamaan
muslim ketika masuk ke wilayah “lain” atau dunia yang global, akan mengalami
pembaharuan-pembaharuan yang menyesuaikan tempat di mana mereka berada.
Menurut
penulis, fase global ini dalam kaca mata fiqh (karena di atas sebagai contoh,
penulis menggunakan kasus fiqih sebagai sarana contoh pula), sebagian telah
terjawab oleh kaidah-kaidah fiqh yang telah dicapai oleh ulama fuqaha
terdahulu. Seperti kasus zakat yang pada zaman nabi adalah kurma dan gandum,
maka ketika masuk ke konteks Indoesia, terutama Jawa, maka menjadi beras, tentu
berbeda dengan zakat di wilayah Eropa, Amerika, dan lain-lain. Kaidah-kaidah fiqih
seperti al-Masyaqqatu tajlibu at-taysir,[10]
adl-dlaruratu tubihu al-mahdhurat[11]
dan semacamnya merupakan nilai-nilai global. Artinya kaidah tersebut tidak
pandang bulu dan tempat di mana ia berada, ketika muslim (apapun etnisnya)
berada dalam keadaan darurat (di manapun ia berada), maka ia boleh melalukan
hal-hal yang dilarang (haram). Jadi semangat Islam yang rahmatan lil’alamin
bisa terwujud bagi peradaban muslim di dunia. Namun, yang menjadi persoalan
adalah masyarakat pada umumnya mempelajari fiqih sampai mentog saja,
tanpa melihat aspek ushul dan kaidah yang lebih universal, lebih-lebih sampai
pada disiplin ilmu yang lain.
Pergumulan Tiga
Kluster Intelektual dalam Islam
Amin Abdullah
memetakan ketiga kluster jaringan Intelektual dalam Islam, yakni ilmu agama (ulum
ad-din; religious knowledge), pemikiran islam (al-fikr al-islami ;
Islamic thougt), dan Dirasat islamiyah/Islamic studies.
Ketiga kluster tersebut mempunyai hubungan sangat erat dan selalu bersentuhan
satu dengan yang lainnya. Agar catatan selanjutnya bisa runtut, maka perlu
untuk memberikan definisi satu persatu dari masing-masing kluster tersebut. Ulum
ad-Din di sini mempunyai arti bahwa pengetahuan-pengetahuan agama Islam
yang secara langsung bersinggungan dengan nilai-nilai dan materi-materi seperti
fiqih, syari’ah, kalam, tasawuf, dengan menggunakan pendekatan filologis
seperti ilmu nahw, sharaf, balaghah, mantiq, dan semacamnya untuk mengetahui
teks-teks agama seperti al-Qur’an, hadits, dan turats-turats.[12]
Dalam bahasa Imam Ghazali, ilmu syariah agama disebut sebagai ilmu yang
bersifat fardlu ‘ain.[13]
Sedangkan yang non syariah agama disebut sebagai ilmu yang bersifat fardlu kifayah
yang berarti bahwa dalam satu komunitas tidak semua orang harus mengetahui ilmu
tersebut, seperti halnya ilmu kedokteran, dan apabila salah satu dari suatu
komunitas tertentu sudah mempelajarinya, maka sebagian yang lain tidak
mempunyai kewajiban lagi (wa idza qama biha wahidun kafa, wa saqatha
al-fardhu ‘an al-akhirin)[14]
Lebih dari
pada itu, dalam perkembangannya ketika bahan dasar pokok-pokok ulum ad-Din
ini terkumpul dan disusun secara sistematis dan terstruktur secara akademis
dengan melibatkan metodologi, pendekatan dan segala macamnya, maka secara
akademik ulum ad-din berkembang menjadi subjek yang secara luas dikenal
oleh lingkungan perguruan tinggi sebagai pemikiran islam (al-Fikr al-Islami;
Islamic thought).[15]
Dari sini kemudian muncul pertanyaan, lantas apa perbedaan antara Ulum
ad-Din dan fikr al-Islam?.
Perbedaan
antara keduanya terletak pada aspek metodologi. Pada kluster Fikr al-Islam
cenderung lebih mempunyai struktur ilmu yang kokoh dalam menganalisis tema-tema
agama, sedangkan pada kluster ulum ad-din cenderung parsial dengan
menenakankan atau memilih bagian tertentu saja dari struktur pengetahuan
tersebut.[16]
Misalnya, pembelajaran agama yang hanya menenakankan pada aspek kalam dan
aqidah dengan meninggalkan aspek filosofisnya, selain itu menekankan pada aspek
fiqih saja tanpa memahami tasawuf, dan sebaliknya.[17]
Hal demikian menurut Amin Abdullah antara ulum ad-Din dan Fikr al-Islam secara
hubungan interaktif belum selesai dan belum duduk.[18]
Ketika
hubungan antara ulumu ad-Din dan Fikr al-Islam dinyatakan belum
duduk dan belum selesai, maka lebih lanjut Amin Abdullah menjelaskan:
“…dunia akademis keilmuan Islam
terus berkembang mengikuti perkembangan ilmu-ilmu dan metode-metode penelitian
yang umum ada di dunia akademis pada umumnya. Publikasi hasil penelitian
lapangan, hadirnya journal keilmuan keislaman, symposium, seminar-seminar keilmuan,
encyclopedia, terbitnya buku-buku baru dari manapun datangnya, baik dari insider
maupun outsider, mulai merangsek masuk ke pusat-pusat studi keislaman
baik di Barat maupun Timur. Dengan munculnya berbagai metode dan pendekatan
baru yang muncul mulai abad ke 18-19, baik yang disebut filologis-historis dan
lebih-lebih social sciences, maka muncullah cluster baru keilmuan
Islam yang disebut dengan Dirasat Islamiyah atau Islamic Studies.”[19]
Dari kutipan
di atas, penulis memahaminya bahwa kemunculan Dirasat Islamiyah didasari
atas hasil dari pergumulan antara Fikr al-Islam dan Ulum ad-Din
sekaligus dibarengi dengan ilmu-ilmu yang sedang berkembang pada saat ini,
misalnya dengan ilmu sosiologi, psikologi, humanities, historis, dsb. Jadi,
hasil-hasil dari penelitian lapangan yang tentunya masih ditopang dengan Ulum
ad-Din dan Fikr al-Islam dengan tidak meninggalkan aspek historis-empiris
yang objektif tentang dinamika sosial, ketersambungan, perubahan, pola, dan
trends pergumulan sosial-politik, dsb, maka itulah yang disebut sebagai Dirasat
Islamiyah yang secara fungsional melihat persoalan-persoalan agama secara
lebih komprehensif dan tidak meninggalkan nilai universal Islam yang masyhur dengan
slogan rahmatan lil ‘alamin.
Selain itu,
pendekatan kritis dan perbandingan (comparative) sangat diutamakan dalam
tradisi keilmuan Dirasat Islamiyah,[20]
hal ini untuk mendapatkan hasil yang mempunyai cakupan lebih luas dari berbagai
persfektif yang kemudian mempunyai hasil kesimpulan yang utuh pula.
Dengan
demikian, disversifikasi (penganekaragaman) corak kajian keislaman sangat
diperlukan dan niscaya untuk membantu masyarakat pada umumnya dalam melihat dan
menilai persoalan dari berbagai sudut pandang, hal ini untuk meminimalisir,
kalau tidak disebut menghilangkan konflik, antar sekte, ideologi bahkan antar
agama. Seperti halnya yang dijelaskan oleh Machasin bahwa Islam sebagai produk
budaya berpotensi untuk dipahami dan diekspresikan dalam berbagai corak sesuai
dengan keberagaman manusia.[21]
Kembali pada ketiga kluster intelektual Islam,
ketika melihatnya dengan empat fase studi agama yang sudah penulis senggol di
atas, bahwa Ulum ad-Din masih berada pada tahapan canonical, bahkan
sebagian merosot pada fase local. Sedangkan fikr al-Islam berada
pada masa transisi menuju Dirasat al-Islamiyah yang bercorak dan
menempati fase critical.[22]
Dari ketiga
kluster tersebut, ternyata masing-masing mempunyai penggemar sendiri yang,
penggemar satu dengan yang lain tidak bisa saling terbuka untuk bisa memahami
dan berdialog tentang keberagaman mereka yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Namun lebih lanjut Amin Abdullah menjelaskan bahwa:
“Hubungan antara ketiganya pun,
menurut hemat penulis, bukannya bersifat Hirarkis, di mana Ulum ad-Din
atau Fikr al-Islami atau Dirasat al-Islamiyah diandaikan paling
tinggi, paling utama atau penting dibanding yang lain. Hubungan antara
ketiganya bersifat Dialogis dan Negoisatif. …Bagaimana cara penyampaiannya
kepada anak didik secara lebih akademik sekaligus pedagogis?. Salah satu yang
penulis usulkan adalah lewat pengenalan bagian-bagian tertentu dari ilmu-ilmu
sosial kritis humanities kontemporer yang dikawinkan dengan budaya lokal yang
mendarah mendaging dalam payung Ulum ad-Din dalam konteks budaya Islam.”[23]
Dari penyataan
di atas, bahwa ketiga kluster bukanlah bersifat hirarkis, tetapi dialogis dan
negoisatif, setidak-tidaknya pandangan ini bisa membuka semua penggemar ketiga
kluster tersebut untuk saling membuka pikiran dan kritik dari masing-masing
kluster, meminjam bahasa Amin Abdullah yakni integrated entities (ketiga
kluster saling terpaut dan terhubung).[24]
Dengan
demikian, tidak hanya “tradisi” (al-Muhafadhah ‘ala qadimi as-shalih)
yang ditonjol-tonjolkan, tetapi juga aspek “translation” (al-akhdzu bi
al-jadidi al-ashlah), yakni dengan cara menerjemahkan kembali dan
menafsirkan ulang konsep-konsep dan khazanah intelektual lama ke konteks
intelektual baru yang lebih menjanjikan untuk menjawab tantangan zaman.[25]
Menurut
penulis, yang mempunyai potensi menggabungkan ketiga kluster tersebut adalah di
perguruan tinggi, sebenarnya di pesantren-pesantren bisa menggapai ketiga
kluster tersebut apabila bisa menerima dan mempelajari aspek-aspek
humanitis-sosiologis kontemporer, mengingat di pesantren-pesantren masih sangat
kuat dengan tradisi Ulum ad-Din dan sedikit sekali menimbang-nimbang
lewat aspek Fikr al-Islami dan Dirasat Islamiyah yang menekankan
metode kritik, lebih-lebih perbandingan pemikiran dalam Islam.
Takhtim
Dari pemaparan di atas, menurut
penulis yang sangat penting digarisbawahi dalam catatan ini, pertama adalah, ungkapan
act locally and think globally merupakan pondasi awal bagi intelektual
muslim hari ini, dengan sikap tersebut diharapkan bisa menyikapi perbedaan dan
mengelola berbagai pertentangan dan konflik dengan cerdas dan bijak antar
golongan yang berbeda dalam segi apapun.
Kedua, fase-fase
studi yang telah penulis paparkan di atas merupakan sebuah proses untuk
memahami persoalan-persoalan agama, terutama Islam, agar pemaknaan Islam bisa
berkembang sesuai dengan tempat, budaya, tradisi dan segala macam yang bersifat
lokal-temporal.
Ketiga, dari ketiga
kluster antara Ulum ad-Din, Fikr al-Islami, dan Dirasat al-Islamiyah,
bukan berbentuk hirarkis, di mana yang satu dengan yang lain saling mendominasi
bahkan lebih utama, akan tetapi ketiga kluster tersebut berjalan dengan
dialogis-negoisatif dan terbuka dengan ilmu-ilmu yang berkembang pada era
kontemporer saat ini. Wallahu a’lam bi as-shawab.
Daftar Pustaka
Abdul Hamid
Hakim, Mabadi’ Awwaliyah fi Ushuli al-fiqh wa Qawa’idu Fiqhiyah, Jakarta:
Maktabah Sa’idah Putra, tth.
Abdullah, Amin,
Agama, Ilmu dan Budaya: Paradigman Integrasi, Interkoneksi Keilmuan.
Pidato yang disampaikan sebagai anggota AIPI (akademi ilmu Pengetahuan
Indonesia) tertanggal 17 Agustus 2013.
_____________,
Islamic Studies di Perguruan Tinggi Paradigma Integratif-Interkonektif,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), cet. III
_____________,
Mempertautkan ‘Ulum ad-Din, al-Fikr al-Islami, dan Dirasat
al-Islamiyah: Sumbangan Keilmuan Islam untuk Peradaban Global, diunduh dari
http://aminabd.wordpress.com/author/ridwanpau tertanggal 20 Juni 2010
al-Ghazali,
Abu Hamid, Ihya’ Ulum ad-Din, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), juz. I
Ibnu ‘Atha’illah,
Taju al-‘Arus al-Hawi Litahdzibi an-Nufus, (Beirut: Dar al-Kotob
al-Ilmiyah, 2008)
Machasin,
Islam Dinamis Islam Harmonis: Lokalitas, Pluralitas, Terorisme,
(Yogyakarta: LKiS, 2012)
Richard J. Blackwell
dalam The History of Science and
religion in western tradition an encyclopedia, (ed. Garry Ferngren.)
[1]Amin Abdullah, Mempertautkan ‘Ulum ad-Din,
al-Fikr al-Islami, dan Dirasat al-Islamiyah: Sumbangan Keilmuan
Islam untuk Peradaban Global, diunduh dari http://aminabd.wordpress.com/author/ridwanpau
tertanggal 20 Juni 2010, h. 1
[2]Adanya fatwa MUI yang secara tegas menerbitkan
buku berjudul Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia, juga
buku yang ditulis oleh para santri Sidogiri dengan judul “Mungkinkah Sunnah
dan Syi’ah dalam Ukhuwah?” sebagai respon buku Quraish Shihab berjudul Sunnah
dan Syi’ah dan Sunni Bergandengan Tangan! Mungkinkah!. Kesesatan Syi’ah
ini bertentangan dengan fatwa ulama al-Azhar yang menyatakan bahwa Syi’ah
merupakan salah satu madzhab yang sah dalam Islam. Lihat Amin Abdullah, Agama,
Ilmu dan Budaya: Paradigman Integrasi, Interkoneksi Keilmuan. Pidato yang
disampaikan sebagai anggota AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia)
tertanggal 17 Agustus 2013.
[3]Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 2-3
[4] Tradisi keilmuan pesantren yang berporos pada
paradigma Kalam, Fiqih dan Tashawwuf dengan berbagai variasi aksentuasi
pembidangan yang menjadi ciri khas masing-masing pesantren merupakan wilayah
sekaligus media pelestarian dan pengamalan ajaran dalam tradisi Islam. Jika
tidak ada lembaga seperti pesantren, kita belum tentu dapat membayangkan
lembaga apa yang dapat menjaga dan meneruskan tradisi keilmuan Islam yang
mempunyai ciri spesifik seperti itu sekaligus mampu bertahan dalam arus
perubahan sosial yang macam apapun. Lebih lanjut Amin Abdullah membagi
sekaligus mengkritisi keilmuan islam tentang tradisi menjadi dua trend
pemikiran, yang pertama pemikiran Islam yang mengokohkan tradisi yang dianggap sebagai
final tanpa kritik, sedangkan yang kedua adalah tradisi pemikiran Islam yang bersifat
kritis. Baca: Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Paradigma
Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), cet. III, h.
289-304
[5]Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 3
[6]Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 3-4
[7]Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 4
[8]Puncaknya pada hukuman yang dijatuhkan Gereja
kepada Galileo Galilei (1564-1642 M) yang mengembangkan teori Copernicus
(1473-1543), disebabkan penyempurnaan teori Heliosentris dengan teleskop yang
mengatakan bahwa Bumi mengelilingi matahari, teori ini bertentangan dengan
pandangan bible yang berpandangan bahwa matahari yang mengelilingi bumi
(Geosentris). Ini termasuk ke empat isu klasik yang dijelaskan oleh Richard
J.Blackwell. Keempat isu klasik tersebut
adalah (1) Teori Heliosentris Nicholas Copernicus (2) standarisasi penafsiran digunakan
untuk memahami makna dan kebenaran Alkitab; (3) peristiwa
sejarah pada tahun 1616, pihak gereja mengeluarkan fatwa Copernicanism sebagai suatu kesalahan; dan (4) Putusan sidang Galileo pada tahun 1633. Lihat: Richard
J.Blackwell dalam The History of Science and
religion in western tradition an encyclopedia, (ed. Garry Ferngren.), hlm. 98
[9]Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 5
[10] “Jika kebaratan melakukan suatu hal, maka ambillah
sesuatu yang ringan/mudah saja.” Misalnya, tidak bisa berdiri dalam
melaksanakan shalat diperbolehkan dengan duduk, masih tidak kuasa dengan tidur
miring, dst. Lihat: Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ Awwaliyah fi Ushuli al-fiqh
wa Qawa’idu Fiqhiyah, (Jakarta: Maktabah Sa’idah Putra, tth.), h. 29
[11] “Dalam keadaan darurat, memperbolehkan
sesuatu yang diharamkan.” Misalnya, diperbolehkan makan bangkai ketika dalam
keadaan tidak ada makanan dan mengakibatkan kematian bila tidak segera makan.
Lihat: Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ Awwaliyah…, h. 32
[12] Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 8
[13]Fardhu ‘ain diartikan sebagai kewajiban bagi umat muslim untuk mempelajari
ilmu tertentu, meskipun relatif mempunyai perbedaan-perbedaan dari berbagai
persepsi ulama. Seperti mutakallimun mengatakan bahwa ilmu yang terlebih dahulu
dipelajari adalah ilmu kalam, sedangkan bagi fuqaha adalah ilmu fiqih,
sedangkan bagi sufi adalah ilmu tashawuf, bagi mufassir adalah ilmu al-Qur’an
dan hadits, dst. Secara global, ilmu fardhu ain adalah ilmu syariah
agama islam yang sesuai dengan kebutuhan hajjiyah dan dlaruriyah,
dan ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang non syariah agama Islam yang
terbagi juga menjadi dua yakni Mahmud misalnya kedokteran untuk
mengobati orang sakit, dan madzmum seperti ilmu sihir. Penjelasan lebih
lanjut Lihat: al-Ghazali, ihya’ ulum ad-din, (Beirut: Dar al-Fikr, tth),
juz. I, h. 13-16
[14] al-Ghazali, ihya’ ulum…, h. 16
[15] Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 8
[16] Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 8
[17] Hal ini telah diantisipasi oleh Ibnu ‘Atha’ullah
dalam bukunya tajul ‘arus al-hawi litadzhibi an-nufus yang mengatakan
bahwa:
من استرسل بإطلاق التوحيد ولم يتقيد بظواهر الشريعة
فقد قذف به في بحر الزندقه... وكان بين ذالك قواما
Bila disadur kira-kira menjadi “Barang siapa
yang mendedikasikan dirinya pada ilmu tauhid tanpa mengikatnya dengan aspek syari’at, maka ia akan tenggelam ke
samudera kezindikan… baiknya, mempelajari keduanya secara seimbang-proposional”
Lihat: Ibnu ‘Atha’ullah, Taju al-‘Arus al-Hawi Litahdzibi an-Nufus,
(Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2008), h. 34
[18] Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 9
[19] Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 9
[20] Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 9-10
[21] Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis:
Lokalitas, Pluralitas, Terorisme, (Yogyakarta: LKiS, 2012), h. 130
[22] Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 10
[23] Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 16-17
[24] Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 22
[25] Amin Abdullah, Mempertautkan…, h.
22-23
Post a Comment