Tasawuf Sebagai Dimensi Esoteris Islam
Table of Contents
QOWIM.NET - Tasawuf dan
Islam adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, sebagaimana nurani dan kesadaran
tertinggi yang secara fitri tidak bisa dipisahkan di dalam agama tersebut dan
agama merupakan fitrah manusia.[1] Sebab
Islam tidak hanya suatu agama yang secara historis muncul pada saat diutusnya
Nabi Muhammad, yakni 14 abad yang lalu. Tetapi, ia merupakan kesadaran abadi
yang bermakna penyerahan diri dan ketundukan kepada Allah SWT.
Oleh sebab itu, fenomena-fenomena
keberagamaan yang bersumber dari oknum-oknum pemeluk agama sangat mewarnai dan
ikut berpartisipasi di dalam aktualisasi keislamannya yang sangat beragam.
Misalnya para fuqaha’, ushuliyun, mutakallimun, filosof, dan para sufi.
Masing-masing dari mereka mempunyai aktualisasi keislamannya yang sangat
beragam dan sesuai dengan persepsi dan konsepsi mereka tentang Islam. Hal ini
menjadi suatu keniscayaan yang menjadi bukti bahwa Islam sangat rahmatan lil
‘alamin.
Para sufi, yang merupakan bagian
dari sejarah Islam merupakan suatu persepsi keagamaan yang sepenuhnya tidak
berangkat dari Islam. Kendati demikian, mereka masih menggunakan teks-teks
sakral keagamaan yang dijadikan sebagai sumber kebenaran seperti pada umumya,
dan paradigma yang mereka gunakan tidak pada umumnya (baca: berbeda). Mungkin
itu salah satu alasan yang membuat para kritikus keberagamaan kaum sufi sangat
menentang mereka. Belum lagi tudingan-tudingan bahwa tasawuf merupakan
bersumber dari kebudayaan Khatolik, Hindu, Budha, dan Yunani.
Terlepas dari tudingan-tudingan demikian,
secara faktual dunia tasawuf menjadi bagian dari manifestasi pemeluk agama
Islam. Di dalam tulisan ini tidak membahas terlalu dalam tentang adanya
intervensi dan pengaruh kebudayaan atau mistisisme agama lain. Sayyed Hossein
Nasr berpendapat bahwa tasawuf pada hakikatnya adalah dimensi yang dalam dan
esoteris dari Islam (the inner and esoteic dimension of Islam) yang
bersumber dari al-Qur’an dan hadits serta perilaku Nabi Muhammad dan para
sahabatnya. Adapun syariat adalah dimensi luar (eksoteris) ajaran Islam.
Pengamalan kedua dimensi itu secara seimbang merupakan keharusan bagi setiap
muslim, agar di dalam mendekatkan diri kepada Allah menjadi sempurna lahir dan
batin.[2]
Dua dimensi yang dijelaskan oleh Hossen Nasr
di atas merupakan satu kesatuan yang tidak bisa diamalkan secara parsial, namun
bisa dibedakan dan bisa berjalan bersandingan agar tidak ada kesan kontradiksi
antara dimensi esoteris dan eksoteris. Pada kesempatan makalah ini, penulis
akan sedikit memberikan deskripsi dan sedikit analisis tentang tasawuf sebagai
dimensi esoteris Islam yang meliputi pembahasan asal usul dan definisi tasawuf,
serta ruang lingkup dimensi esoteris di dalam Islam beserta tipologi
ketasawufan para sufi.
B.
Pembahasan
1.
Asal Usul dan Pemaknaan
Tasawuf
Tasawuf merupakan salah satu cabang
ilmu Islam yang menekankan dimensi batin atau spiritual. Di dalam kaitan dengan
spritualitas ini, tasawuf mempunyai bermacam-macam kaitan di dalamnya. Dalam
kaitan dengan manusia, tasawuf lebih menekankan pada aspek ruhaniahnya dari
pada aspek jasmaniahnya. Dalam kaitan dengan kehidupan, tasawuf lebih
menekankan pada kehidupan akhirat dari pada dunianya. Sedangkan di dalam
pemahaman keagamaan, tasawuf lebih menekankan aspek esotheris
(bathiniah), dari pada aspek eksotheris (lahiriah).
Di dalam buku berjudul
menjelajahi eksistensi tasawuf, Moenir Nahrowi berpendapat bahwa di dalam
tasawuf, aspek yang paling ditekankan adalah aspek spriritual, karena tasawuf
lebih mengutamakan alam spiritual dari pada alam material. Para sufi (sebutan
para pelaku tasawuf) percaya bahwa dunia spiritual lebih hakiki dan real dari
pada dunia jasmani. Dan Tuhan pun bersifat spiritual, sebab itu para sufi
berkeyakinan bahwa Tuhan adalah satu-satunya realitas sejati.[3]
Mengingat
bahwa agama islam dilandasi oleh tiga komponen, yakni iman, islam, dan ihsan.
Sebagaimana dijelaskan di dalam hadits ketika Nabi Muhammad didatangi malaikat
Jibril yang redaksinya sudah tidak asing di telinga kita “Engkau beribadah
seakan-akan melihat Tuhan, namun ketika kau tidak melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu.”[4]
Begitu pula di dalam al-Qur’an “Ketika hambaku bertanya kepadamu (Muhammad)
tentangku, maka sesungguhnya aku dekat.”[5]
Dan ayat ”... dan kami lebih dekat dari pada urat lehernya sendiri”[6].
Dari kedua
sumber al-Qur’an dan hadits di atas, para sufi berlomba-lomba untuk bisa
mencapai ma’rifatullah dan menghadirkan Tuhan di dalam keadaan apapun. Hal
ini yang kemudian menjadi esensi dari jalan sufi. Kemudian dari nilai-nilai
tersebut, maka para sufi memberikan jalan (thariqat) dan maqamat
tertentu untuk bisa mencapai tujuan ma’rifatullah tersebut.
Selanjutnya
adalah definisi tentang tasawuf. Secara etimologi terdapat banyak pendapat
mengenai asal muasal kata tasawuf yang berakar dari tiga huruf –bukan bahasa– Arab
yakni shad-wawu-fa. Ada yang berpendapat berasal dari ahlu as-shuffah
yang diartikan sahabat nabi yang miskin dan bertempat tinggal di serambi masjid,
berasal dari kata shaff yang dinisbatkan bagi orang yang berada di shaf
pertama di dalam shalat yang mendapatkan kemuliaan, shufi yang berarti
suci atau yang disucikan, shophos dari bahasa Yunani yang berarti
hikmah, shuf yang berarti kain yang terbuat dari bulu sebagai simbol
bahwa seorang sufi mempunyai sikap yang sederhana. Definisi-definisi demikian
sangat lumrah kita jumpai di dalam literatur-literatur tasawuf dan sufisme.
Dengan
demikian, tidak ada definisi secara etimologis yang memastikan tasawuf berasal
dari sebuah kata tertentu atau mempunyai definisi yang mengakomodasi semua
pengertian-pengertian tasawuf. Hal ini juga yang pernah disampaikan oleh
Syaifan Nur pada perkuliahan 06 Maret 2014 di kelas Filsafat Islam.
Tidak hanya
dalam segi etimologi yang mempunyai definisi-definisi terkesan dugaan-dugaan seperti
di atas, tetapi juga secara terminologi pun demikian sama. Misalnya menurut Ibnu
Sina yang dikutip oleh Sokhi Huda, bahwa tasawuf adalah sikap zuhud dan
ahli ibadah.[7]
Sedangkan menurut Abu Husein an-Nuri tasawuf adalah kebebasan, kemuliaan,
dermawan, dan murah hati, serta meninggalkan perasaan terbebani dalam setiap
melaksanakan perintah syara’ (baca: ikhlas).[8]
Berbeda lagi menurut Syaikh Fadhlalla Haeri yang berpendapat bahwa jalan sufi
merupakan jalan bagi orang-orang yang berupaya mempraktikkan amalan yang dapat
mengantarkannya pada kesadaran dan pencerahan hati. [9]
Sedangkan
menurut Ibnu Khaldun memberikan definisi lebih pada aspek aplikatifnya, yakni
tasawuf dilakukan dengan pemusatan diri di dalam ibadah, pengharapan diri
sepenuhnya hanya kepada Allah, penghindaran diri dari hiasan dunia yang
bersifat maya, serta pemisahan diri dari orang lain untuk berkhalwat dan
beribadah.[10]
Dari berbagai
definisi yang variatif tersebut membuktikan bahwa betapa sulitnya memberikan
deskripsi pengertian yang jami’ dan mani’ di dalam materi tasawuf
ini. Menurut penulis, hal ini mungkin disebabkan pengalaman spiritual dan sikap
yang berbeda dari masing-masing sufi, sehingga menimbulkan definisi-definisi
yang bersifat nisbi (subjective) yang mungkin mendekati kebenaran yang
absolutif. Namun, dengan definisi-definisi seperti di atas dapat diambil satu
kesimpulan bahwa tasawuf lebih memfokuskan pada kesadaran diri secara murni
yang mengarahkan jiwa agar bisa berdekatan dengan Tuhan. dengan bahasa lain,
tasawuf berarti membenahi diri dan jiwa sehingga mempunyai moral yang baik. Moral
kepada Allah sebagai sang pencipta, moral kepada sesama manusia dan semua
makhluk yang diciptakan oleh Allah.
Moral atau
akhlak inilah yang disebut sebagai dimensi esoteris di dalam Islam, sebab
akhlak merupakan manifestasi dari syari’at Islam. Jika akhlak seseorang baik
dan mempunyai kebeningan jiwa, maka indikasi-indikasi yang termanifestasikan dalam
tindakan-tindakan secara lahiriah akan menjadi baik pula. Untuk lebih tegasnya,
bahwa akhlak merupakan ihsan yang selalu menghadirkan Tuhan di mana pun, baik
di dalam pemahamannya, maupun di dalam ritual ibadah-ibadah praktisnya. Ibadah
di sini tidak hanya ibadah dalam arti sempit seperti shalat, dan seterusnya.
Ibadah di sini diartikan sebagai ibadah dalam arti luas.
2.
Akhlak Sebagai
Aspek Esoteris Islam
Sebelumnya harus dibedakan terlebih
dahulu antara akhlak dan syari’at. Semua ritual-ritual agama Islam adalah
syariat, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dsb. Semua itu sudah diatur dan
diformulasikan oleh para fuqaha dan sampai hari ini diyakini sebagai
konsep yang sudah matang dan anti-kritik. Sebab semua itu diyakini bersumber
dari teks al-Qur’an dan hadits, dan para fuqaha hanya mengembangkan dan memformulasikannya
dengan kaidah-kaidah tertentu. Berbeda dengan akhlak, akhlak merupakan dimensi
yang melandasi syari’at. Misalnya shalat, secara syari’at para ulama fiqh
mendefinisikan sebagai perbuatan yang diawali dengan takbiratul ikram dan diakhiri
dengan salam, definisi demikian yang sering kita jumpai di dalam
literatur-literatur fiqh. Namun secara akhlak adalah kekhusyukan yang melandasi
ritual shalat tersebut.
Kenapa di
dalam fiqh tidak ada syarat rukun “khusyu’”?. Padahal di dalam al-Qur’an jelas
tentang keburuntungan bagi orang-orang yang bisa khusyu’ di dalam shalatnya.[11]
Menurut guru saya Rumaizijat, sebab khusyu’ bukan merupakan aspek fiqh, khusyu’
adalah garapan tasawuf yang sampai hari ini tidak ada pengertian atau formulasi
yang memastikan tentang bagaimana cara shalat khusyu’ (baca: abstrak) melainkan
hanya yang bersifat subyektif dan relatif.
Melalui
penjelasan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa khusyu’ adalah akhlak yang
bersifat tasawuf, sedang shalat adalah syari’at. Dengan demikian, apa yang
diajarkan oleh tasawuf tidak lain adalah bagaimana menyembah Allah dalam suatu
kesadaran penuh bahwa kita berada di dekatnya sehingga kita bisa seolah-olah
melihatnya atau setidaknya bisa merasa bahwa Allah selalu mengawasi kita.
Inilah yang kita sebut sebagai ihsan.
Dalam hubungan
ini, Sayyid Hossen Nasr menuturkan bahwa Islam memiliki semua hal yang
diperlukan untuk merealisasikan keruhanian yang luhur. Baginya, tasawuf adalah
kendaraan pilihan untuk tujuan tersebut. Oleh sebab itu tasawuf merupakan
dimensi esoterik dari Islam yang tidak bisa dipisahkan dari Islam. Tasawuf
tidak didasarkan atas penarikan diri secara lahiriah dari dunia, tetapi
didasarkan atas pembebasan batin, sebagaimana sufi mengatakan “Bukan aku yang
meninggalkan dunia, tapi dunialah yang meninggalkan aku.” Pembebasan batin
dalam kenyataan dapat berpadu dengan aktifitas yang bersifat intens.[12]
Hal ini juga
dijelaskan oleh al-Qusyairi bahwa di dalam hubungan syariat dan hakikat
terdapat satu kesatuan, bukan satu hal yang bersebrangan. Ia menjelaskan bahwa
syariat adalah aspek lahiriah, dan hakikat adalah aspek batiniah dari syariat.[13]
3.
Tipologi
Tasawuf[14]
Dari implementasi syari’at yang
dilandasi oleh ihsan, para sufi mempunyai cara yang variatif, mungkin
hal ini disebabkan pendekatan dan pengalaman para sufi yang berbeda antara satu
dengan yang lainnya, kemudian membentuk karakteristik-karakteristik tertentu
dan mengelompok sesuai dengan rumpun pemahaman, persepsi, dan konsepsinya
mengenai hubungan mereka dengan Tuhan.
Berdasarkan argumentasi
di atas, para sufi selalu terkait dan bertujuan dengan dua hal pokok. Pertama,
kesucian jiwa untuk menghadap Tuhan sebagai dzat yang maha suci. Kedua,
upaya pendekatan diri secara individual kepada Tuhan.[15]
Kedua tujuan tersebut merupakan nilai esoteris dalam Islam yang pada intinya sebuah
upaya untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam mendekatkan diri kepada Tuhan
sehingga kehadiran Tuhan senantiasa dirasakan secara sadar di dalam kehidupan
sehari-hari.
Kedua pokok
tasawuf itu mengacu pada pesan di dalam al-Qur’an tentang keberuntungan bagi
orang yang membersihkan diri dan mengingat nama Tuhannya serta melaksanakan
shalat.[16]
Atas dasar kandungan ayat tersebut kaum sufi lebih berinstrospeksi diri (muhasabah).
Untuk mewujudkan cita-cita para sufi mempunyai pemahaman, konsepsi, dan bahkan
ritual yang berbeda-beda, sehingga di dalam perbedaan itu membentuk
karakter-karakter tertentu sehingga melahirkan dua tipe tasawuf.
a.
Tasawuf
Falsafi
Tasawuf
falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajaran dan konsepsinya disusun secara
mendalam dengan bahasa-bahasa yang simbolik-filosofis. Jadi tidak heran apabila
mayoritas sufi yang mempunyai paham tasawuf falsafi mengalami kemabukan
sehingga mengeluarkan statement yang terkesan tidak awam (Syathahat).
Seperti yang diucapkan Ibnu ‘Arabi “Ana al-Haqq”. Tokoh-tokohnya antara
lain Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj, Ibn ‘Arabi, dan al-Jilli. Sedangkan
teori-teori yang dilahirkan para tokoh tersebut seperti teori fana’, baqa’,
dan ittihad yang dicetuskan oleh al-Busthami, teori hulul yang
dipelopori oleh al-Hallaj, teori wahdatul wujud yang digawangi oleh Ibnu
‘Arabi, dan teori insan kamil yang dirumuskan oleh al-Jilli.[17]
Sesuai dengan
tipologinya, para sufi penganut tasawuf falsafi ini mengenal baik filsafat
Yunani beserta ajaran-ajaran dari tokoh-tokohnya seperti Socrates, Aristoteles,
Plato, dan Neo-Platonisme. Bahkan dalam pandangan Asmaran, tasawuf falsafi
adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi
rasional. Pemaduan antara tasawuf dan filsafat di dalam ajaran tasawuf falsafi
ini, dengan sendirinya telah membuat ajarannya bercampur dengan sejumlah aliran
filsafat di luar Islam, seperti ajaran Yunani, Pesia, India, dan agama Nasrani.
Akan tetapi, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang karena para
tokohnya tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila
dikaitkan dengan status mereka sebagai umat Islam.[18]
b.
Tasawuf Sunni
Adalah tasawuf yang didasarkan pada
al-Qur’an dan Sunnah. Menurut aliran tasawuf ini, apabila seorang muslim ingin
meningkatkan kualitas pendekatan dirinya kepada Allah, maka terlebih dahulu ia
harus memahami syari’at dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini, ia harus
mempelajari fiqh dalam segala bidangnya secara baik yang sesuai dengan ajaran
yang telah dirumuskan oleh madzhabul
al-arba’ah.
Tasawuf
ini mendasarkan pengalaman kesufiannya dengan pemahaman yang sederhana dan
dapat dipahami oleh manusia pada umumnya. Tokoh-tokoh tasawuf sunni yang
populer adalah al-Junaid al-Baghdadi, al-Qusyairi, dan al-Ghazali. Dalam perkembangannya
tasawuf sunni ini mengambil bentuk praktis berupa tarekat, dan ketiga tokoh
inilah yang lebih banyak mengilhami dasar-dasar ajaran tarekat yang ada
sekarang ini.
C.
Kesimpulan
Dari sekilas
deskripsi di atas, bisa kita tarik kesimpulan. Pertama, bahwa di dalam asal
usul tasawuf dan berdasarkan definisi yang bersifat etimologi dan terminologi,
tidak ada kepastian kebenaran yang disepakati. Hanya saja mempunyai kesamaan
tujuan, yakni Allah SWT.
Kedua, sebagai dimensi esoteris dalam Islam,
tasawuf mempunyai paradigma bahwa yang menjadi urgensi dalam berhubungan dengan
Allah adalah akhlak atau moral, yakni dengan bersikap ihsan sebagaimana
yang telah dijelaskan di dalam hadits.
Ketiga, tasawuf sebagai manifestasi pemahaman
maupun ritual ibadah bisa dikelompokkan menjadi dua kelompok dengan
karakteristik tertentu yang sesuai dengan pemahaman para sufi. Yakni tasawuf
falsafi dan tasawuf sunni.
Daftar Pustaka
Abd al-Halim Mahmud, Qadhiyah fi
at-Tashawuf, Kairo: Maktabah al-Qahirah, tt.
Al-Bukhori, Shahih Bukhori, Beirut:
Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1971
Al-Qusyairi, al-Risalah al-Qushairiyat fi ilm at-Tashawuf,
peny. Muhammad Ali, Kairo: al-Azhar, 1966
Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf, Edisi revisi, cet. II,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002
Huda, Shokhi, Tasawuf Kultural,
Yogyakarta: LKis, 2008
M. Sholihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005)
Moenir Nahrowi Thohir, Menjelajahi Eksistensi Tasawuf, Jakarta:
PT. As-Salam Sejahtera, 2012
Sayyed Hossein Nasr, Ideal and Realities of Islam, London:
George Allen & Unwin Ltd., 1966
_________________, Tasawuf Dulu
dan Sekarang, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991
Syaikh Fadhlalla Haeri, The Element of Sufism, terj. Ibnu
Burdah dan Shohifullah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
[1] Lihat QS. Ar-Rum (30): 30
[2] Sayyed Hossein Nasr, Ideal and Realities
of Islam, (London: George Allen & Unwin Ltd., 1966), hlm. 112
[3] Moenir Nahrowi Thohir, Menjelajahi
Eksistensi Tasawuf, (Jakarta: PT. As-Salam Sejahtera, 2012), hlm. 1
[4] Al-Bukhori, Shahih Bukhori, (Beirut:
Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1971), hlm. 25, hadits no: 50. Lihat juga Shahih
Muslim, hadits no: 10.
[5] QS. Al-Baqarah (2): 186
[6] QS. Qaf (50): 16
[7] Sokhi Huda, Tasawuf Kultural,
(Yogyakarta: LKis, 2008), hlm. 22
[8] Abd al-Halim Mahmud, Qadhiyah fi
at-Tashawuf, (Kairo: Maktabah al-Qahirah, tt.), hlm. 170-172
[9] Syaikh Fadhlalla Haeri, The Element of
Sufism, terj. Ibnu Burdah dan Shohifullah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000), hlm. 2
[10] Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah, (Beirut:
Dar al-Fikr, tt.), hlm. 370
[11] Lihat QS. Al-Mu’minun: 1-2.
[12] Sayyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan
Sekarang, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), hlm. 205
[13] Al-Qusyairi, al-Risalah al-Qushairiyat fi
ilm at-Tashawuf, peny. Muhammad Ali, (Kairo: al-Azhar, 1966), hlm. 72
[14] Pada sub-bab
ini disengaja tidak terlalu panjang deskripsinya, melainkan hanya secara global
saja, sebab tema-tema tersebut akan dieksplorasi lebih lanjut pada pemakalah
dan diskusi di pertemuan-pertemuan selanjutnya.
[15] Sokhi Huda, Tasawuf Kultural, hlm. 35
[16] Lihat QS. Al-A’la (87): 14-15
[17] M. Sholihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di
Nusantara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 10
[18] Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf,
Edisi revisi, cet. II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 152-153
Post a Comment