Wooo Celeng... Asyu...!

Table of Contents
Sontak terkejut aku tersadar sekaligus terkejut, ketika seorang teman mengumpatku macam itu. Terkejutku bukan soal aku tidak terima atau pingin marah sama dia. Ya, sama sekali tidak.

Memang, umpatan seperti itu terdengar sangat tabu, bahkan tidak etis dan terkesan menunjukkan sebuah sikap yang tidak sopan. Tapi, tidak bagiku. Umpatan semacam itu benar adanya, benar sekali jika itu ditujukan kepada saya yang seperti demikian keadaannya.


Baru-baru ini aku sering menertawakan diri sendiri, sering sekali, sesering kita mengingat sosok mantan dan segala kenangan bersamanya. Menertawan diri semata-mata kulakukan agar selalu dalam keadaan sadar (eling; awareness), bahwa dalam aktifitas sehari-hari, kesibukanku tak ubahnya seperti celeng (babi) atau asu (anjing).

Ya, benar. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi yang kupikirkan dan kulakukan hanyalah persoalan perut; lapar-makan-lapar-makan, atau kalau tidak perut ya di bawah perut; syahwat seksual. Selain dua itu, hampir tidak ada. Asu memang…

Saya mengajar di sebuah institusi, orientasi saya juga tidak lebih, tidak jauh-jauh dari perut dan kelamin. Kesibukan saya di luar itu seperti membaca dan menulis pun tidak jauh-jauh dari perut dan kelamin, seperti ingin dianggap orang pintar, dianggap paling keren, dianggap paling ilmiah-faktual, dan sesekali untuk mbribik dedek-dedek mahasiswa baru. Itu apa namanya kalau bukan persoalan syahwat. Celeng tenan… 

Bahkan, bahkan saya sebagai seorang muslim yang bisa dibilang ta’at, melakukan ibadah shalat dan kadang-kadang puasa, orientasinya juga tidak lebih dari menghindari ketakutan siksa neraka yang katanya, pedihnya minta ampun, sekaligus mengharapkan surga yang dipenuhi bidadari-bidadari cantik. Itu semua apa? Kalau tidak berkaitan tentang perut dan di bawah perut. Asu seasu-asunya… 

Rutinitas dan orientasi saya yang sehari-hari semacam itu, tak ubahnya seperti asu dan celeng, ya seperti hewan belaka, jadi seribu kalipun saya diasu-asukan dan diceleng-celengkan insyallah saya akan bersyukur sebab masih ada orang yang mengingatkanku. Saya jadi ingat kalimat Hamka “jika hanya hidup, babi hutan pun hidup.” Ya, saya tidak lebih dari babi hutan yang hanya bertahan hidup.

Ayo makan, Dab.” Ajak temanku.
Wooo… Asyuuu…
Celeng…” Jawabnya.
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: janurmusthofa@gmail.com

Post a Comment