Menunggu
Table of Contents
Kali pertama
yang terbenam di kepala saya ketika mendengar atau membaca kata menunggu adalah
pengandaian sebuah penantian yang dirindukan, entah apapun itu, bisa jadi
pengumuman hasil kelulusan, kabar baik dari seseorang, atau kebahagiaan, atau
malah (menunggu) datangnya jodoh (yang sedang menjadi pacar orang lain, heleh
heleh). Dan anehnya lagi, ketika kita menunggu, tiba-tiba waktu menjadi sangat panjang,
panjaaang sekali, sepanjang angan-angan dan kenangan sama mantan. Halah, mantan
lagi mantan lagi.
Menunggu,
berasal dari kata “tunggu” kemudian mendapat tambahan me- yang menunjukkan arti
pekerjaan (yang terus-menerus). Tunggu-menunggu menurut saya terdapat konotasi
yang sangat sangat mengesankan dan unik, tunggu-menunggu mempunyai arti
kepasifan, kepasrahan, sekaligus kepatuhan atas apapun yang kita harapkan. Terkadang
hidup ini memang membutuhkan kepasifan, setelah bosan bahkan muak disuguhi
segala keaktifan yang mem(babi)buta, namun berakhir pada kegetunan yang
entah tak terkatakan, karena banyak hal, terlampau banyak yang terjadi,
ternyata tak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Oleh sebab itu kita butuh
yang namanya pasif, tidak melakukan apa-apa, pasrah, atau dalam bahasa agama
saya, Qana’ah, dalam bahasa jawa kerap disebut nrimo ing pandum. Kenapa
demikian?.
Kata menunggu
terdapat pengandaian adanya jarak yang sekian jauh terbentang antara subjek dan
objek, posisi menunggu ada di antara keduanya. Memang, pada dasarnya kegunaan bahasa
adalah menjembatani antara kemungkinan sekaligus ketidakmungkinan pemahaman antara
subjek dan objek, karena itu membuktikan bahwa tidak ada yang bisa dilakukan
oleh subjek terhadap objek, tanpa bantuan apapun.
Selain kata
tunggu yang mempunyai kemiripan bunyi sekaligus arti adalah, me-rindu, pilu,
sendu, gagu, terakhir semu. Sudahlah, lima kata tersebut sudah cukup untuk
merepresentasikan kata tunggu. Dalam keadaan menunggu, seseorang bisa jadi
mempunyai perasaan rindu untuk segera mendapatkan kabar dari yang ditunggu,
pilu karena sedikit takut dengan hasil yang tidak sesuai harapan, sendu karena
berharap sekaligus cemas, gagu sebab bingung mau ngapain sambil menunggu, semu
karena hasilnya masih belum jelas. Haduhh, repot yaaa. Dengan itu, saya masih
percaya bahwa setiap kata yang mempunyai suku kata yang mirip dan beda-beda
dikit, pasti mempunyai korelasi makna yang sangat menakjubkan.
Tapi santai
saja, sodara. Walau demikian terbatasnya subjek untuk mengintervensi objek, kita
masih bisa berdoa, minimal doa itu menjadikan psikologi kita tenang dan
terjamin, kok bisa? Ya, semata-mata karena seringkali kita membutuhkan hal-hal
yang di luar dari diri kita. Dengan doa mengajarkan kita untuk benar-benar
menghayati cara beragama kita (terlepas dari apapun agama kita), yang jelas
manusia selalu membutuhkan sandaran. Percayalah, se-atheis apapun orang,
se-Nietszche apapun orang yang mengatakan Tuhan telah mati, ia pasti
menyandarkan segala yang tak terjangkau olehnya dengan hal-hal yang
adi-inderawi, adi-dunia, adi-daya, dan segala adi-adi yang lain. Misalnya, ketika
seseorang mengalami kegagalan, ia akan membuat sekian argumentasi,
rasionalisasi, alasan-alasan kenapa hal itu terjadi, hasilnya itu adalah bagian
dari ketidakpastian yang dipastikan. Ah, ini akan menjadi tulisan yang panjang
ketika bahas soal beginian. Intinya, yang tidak percaya sama agama dan tuhan
pun, masih butuh dipercayakan dengan sesuatu “yang lain”, yang harus ia pegang.
Kembali ke terminologi
“menunggu” mengajarkan kita untuk kepasifan yang bijak, menunda kepastian yang telah
dibuat-buat. Sebagaimana air yang tak pernah tahu di samudera bagian mana ia
harus bermuara, just run, just see, just wait. Menunggu akan mengajarkan kita
juga untuk bersikap rendah hati, bahwa terdapat sekian banyak hal yang tidak
bisa kita kontrol, inilah kelemahan manusia, seperti kita ini. Lalu, tunggulah
saja… bukankah hidup ini pada akhirnya menunggu mati?, setelah kematian, lalu
apa?.
Post a Comment