Mufon Itu Harus yang Lebih Baik; Jangan Muter-muter (Hikam 42)
QOWIM.NET - Pada kesempatan kali ini, saya ingin membagikan pengalaman ngaji tentang hikam yang kebetulan sudah sampai pada aforisma Hikam yang ke 42.
لا ترحل من كون الي كون فتكون كحمار الرحا يسير والمكان الذي ارتحل اليه هو الذي ارتحل منه ولكن ارحل من الأكوان الي المكون وان الي ربك المنتهيJangan beranjak dari dunia menuju dunia (lagi), sebab itu tak ubahnya seperti keledai yang dipakai untuk menggiling (himar ar-raha), yang selalu berjalan berputar mengelilingi gilingan. Beranjaklah dari alam semesta (akwan) menuju sang Pembuat alam semesta (al-Mukawwin). Sungguh, Allah adalah penghujung segala perjalanan.
Amburadul ya terjemahannya(?), hahaha.
Ya saya akui, sulit sekali bagi saya untuk menerjemahkan bahasa agar maknanya itu tidak tereduksi, saya sengaja menerjemahkan tidak secara tekstual, apalagi saya mengaji hikam ini dimaknai secara bahasa Jawa dengan guru saya, coba masak iya, saya mau menerjemahkan ke dalam bahasa Jawa, jadinya kira-kira begini, la tarhal ojo mlaku sopo siro, min kaunin saking alam, ila kaunin marang alam, fatakunu mongko ono sopo siro, iku ka himarirraha koyo himar gilingan, yasiru kang mlaku opo himar…
Lama-lama kaya main ludruk atau dalang tersesat muter-muter. Akibatnya pembaca sekalian jarang yang paham, halah, kayak blog saya ini banyak yang mbaca aja *uhukkk…
Yang jelas, seperti apapun terjemahannya, asal tidak terlalu jauh dari maksud teks, tak jadi soal lah ya. Ini semua kan cuma alternatif, dan tidak mungkin cuma ada satu alternatif, nanti ndak seperti tetangga sebelah yang menyesat-kafirkan gegara tidak sama pleg dengan beliyo-beliyo.Intinya, sebuah teks jika diterjemahkan ke bahasa lain, disadari atau tidak, mau gak mau pasti mengalami reduksi. Udahlah percaya aja sama saya. Yayaya… gampang kan.
Jika dilihat dari judulnya, yakni mufon yang sengaja ditulis sesuai dengan cara bacanya dari bahasa Inggris Move on merupakan pilihan saya untuk menelisik lebih jauh aforisma Mbah ‘Athaillah ini.Mulai serius… soalnya ini tentang agama, kata tetangga sebelah beragama itu harus serius tidak boleh guyonan. Kita ikuti mereka insya allah banyak manfaatnya.
Islam mengajarkan, bahkan memberikan doktrin yang kuat bahwa hanya ada dua kategori dalam realitas, yakni Allah (khalik; pencipta) dan selain Allah (atau sering disebut makhluk; ciptaan), tidak ada kategori yang lain. Namun, dalam aforisma ini, Mbah ‘Athaillah menggunakan kata mukawwin dan kaun untuk mengganti kata khalik-makhluk. Ini cuma persoalan bahasa saja.
Doktrin islam juga menjelaskan bahwa Allah yang telah menciptakan, sedang memelihara, sedang menyayangi, dan melakukan segala-galanya yang dikehendaki, wajar saja namanya juga Allah, kan?
Hidup ini semata-mata hanyalah perjalanan, dari tiada menuju ada dan tiada lagi –di dunia ini. Ketiadaan kita di dunia hanyalah peralihan jiwa kita menuju suatu tempat lagi, jadi hidup ini adalah travelling, ngetrip kalau bahasa kekinian.
Jika sudah begini, kata Mbah ‘Athaillah seperti himar raha, atau keledai yang dipake di jaman dulu untuk menggiling, ini sama saja, tidak ada perubahan, sama sekali? Ya dong blass, babar pisan.
Ibadah Ikhlas dan Cerdas
Ibadah, sebagaimana diketahui merupakan hubungan makhluk dengan khalik, kalau secara formal dapat kita sebutkan seperti ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji, ibadah-ibadah dalam kategori tersebut adalah hubungan langsung antara manusia dengan Tuhan-Nya yang telah diatur secara formal-sistematis-massif-terstruktur.
Biasanya, kita beribadah untuk kepentingan dunia, misalnya shalat agar dilihat orang sebagai muslim yang taat beribadah, zakat untuk menunjukkan eksistensi kekayaan, dan puasa –sunnah– agar disebut sebagai orang yang ahli tirakat/riyadhah. Jika sudah begitu, namanya mufon yang muter-muter.
Jika masih demikian, maka ibadah kita belum ikhlas, masih belum murni, yang seharusnya diniatkan semata-mata menjadi wujud ketundukan secara totalitas diri (pikiran, jiwa, dan ruh).
Seharusnya kita mengugemi aforisma Mbah ‘Athaillah di atas dengan berubah sedikit demi sedikit pola pikir kita, bahwa yang namanya mufon itu ya idealnya dari hal yang katakanlah tidak baik (dunia), menuju ke yang terbaik (Allah; al-Mukawwin).
Lagi-lagi kita dituntut untuk cerdas dalam berpikir dan berlogika. Kenapa juga kita harus kesusu, ngeyel sama Tuhan agar kebutuhan kita di dunia ini terpenuhi, lah sejak kita lahir precet dari goa garba ibu saja sudah penuh dengan rahmat, kok?
Bagi yang berusaha mufon, sadarilah… mufon itu sejak dari dalam pikiran. Jangan cuma fisik kita. Selamat bermufon ria. Semoga anda selamat dari godaan mantan.