Meneladani Cara Nabi Berhubungan dengan Non-Muslim
Setelah membaca artikel pendek berjudul Siapakah orang Kafir yang ditulis oleh Mun’im Sirri di geotimes dengan hipotesanya bahwa term kafir di dalam al-Qur’an identik dengan permusuhan dan pendustaan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap dakwah Nabi, sehingga secara potensial, kekafiran bisa dilakukan oleh muslim sendiri dan non-Muslim dengan perspektif berbeda. Sebagaimana komentar Fir’aun terhadap Musa yang diklaim sebagai orang kafir (wa anta minal kafirin; as-Syuara’; 18)
Ini merupakan publikasi kesimpulan yang mencerahkan bagi pemaknaan kafir yang tidak melulu didakwakan kepada selain orang yang beragama Islam saja.
Oleh sebab demikian, catatan kecil ini hanya ingin membahas tentang pola hubungan Nabi kepada Non-Muslim, terutama pasca fathul Makah. Dengan tujuan agar kita dapat meneladaninya secara lebih kontekstual.
Terdapat dua hal yang dilakukan oleh Nabi kepada non-Muslim dengan menjunjung tinggi martabatnya, sebab pada hakikatnya, manusia merupakan makhluk paling mulia, jadi tidak heran Allah sendirilah yang mengatakan:
“Sungguh telah kami muliakan Anak cucu Adam, baik di daratan maupun di lautan dengan memberikan mereka rejeki yang baik…” (QS. al-Isra’; 70).
Secara universal ayat di atas merupakan kemuliaan yang dimiliki oleh semua jenis manusia di bumi ini, tanpa peduli agama, ras, suku, dan kebangsaannya. Jadi tidak heran jika ayat ini yang sering disebut-sebut sebagai dasar nilai Humanisme dalam islam. Nah, berikut adalah pola hubungan Nabi dengan non-Muslim.
Menjunjung Tinggi Martabat Kemanusiaan
Suatu hari Nabi berada di Baitul Maqdis bersama kedua sahabatnya yaitu Qays bin Sa’ad dan Sahl bin Hunaif, lalu lewatlah jenazah kemudian Nabi berdiri (untuk menghormati jenazah), kemudian mereka mengatakan “Sungguh jenazah itu adalah orang Yahudi.” Lalu Nabi menjawab “Bukankah dia juga seorang manusia?.” (alaisat nafsan?) – Bukhari hadis ke 1250, Muslim hadis ke 961.
Betapa Nabi menghormati non-Muslim, meskipun ia sudah meninggal dunia. Kita bisa menyimpulkan sendiri ala mafhum mukhalafah yang sah secara absolut dalam ushul fiqh dengan menyatakan “orang Yahudi yang mati saja dihormati oleh Nabi, bagaimana jika ia masih hidup, atau Nabi saja menghormati Yahudi yang meninggal dunia dengan cara bediri, apalagi dengan seorang Muslim(?)”
Kita tahu beberapa hari ini di jagad medsos dipenuhi dengan postingan kebencian di Masjid-masjid yang menolak jenazah pendukung Ahok, dengan alasan bahwa memilih Ahok adalah orang munafik, dan jenazah orang munafik tidak perlu dishalatkan.
QS. at-Taubah 84 yang dijadikan sebagai dalil pelarangan menshalati kematian orang munafik harus dengan penafsiran yang hati-hati. Ayat tersebut turun ketika Abdullah bin Salul (provokator dan ketua orang munafik) meninggal dunia dan Nabi telah menshalatinya, bahkan sebelumnya ketika ia sakit, nabi sempat menjenguknya, dan Nabi memberikan gamisnya untuk dijadikan sebagai kafan.
Meskipun shalat jenazah Abdullah bin Salul ini ditentang oleh Umar, tapi Nabi merasa berhak untuk tetap mendoakannya, sebab Nabi tahu bahwa label kafir dan munafik adalah murni pengetahuan Allah. bukan wilayah manusia. Bahkan, Nabi mengatakan “Saya akan memintakan ampunan 70kali ditambah 70kali lalu ditambah 70kali lagi.”
Jadi, menurut saya aksi penolakan jenazah yang (hanya karena) memilih Ahok merupakan aksi yang keterlaluan sekaligus menunjukkan ketidak-tahuan (baca; kebodohan) diri sendiri dengan cara mengambil alih pekerjaan Allah untuk melabeli status kafir-munafik orang lain.
Lebih dari itu, bahwa agama dipaksakan untuk menjadi tunggangan politik demi tujuan-tujuan yang didasari kedengkian sekaligus kesombongan, dengan merasa bahwa merekalah yang lebih baik dari yang lain.
Kita tentu masih ingat cerita seorang Yahudi buta yang tinggal di pojok Masjidil Haram dengan mulutnya yang setiap hari selalu menjelek-jelekkan Nabi. Tapi sama Nabi tidak disuruh untuk mengusir atau malah dibunuh, alih-alih Nabi sendirilah yang setiap hari membawakan makanan dan menyuapi orang tersebut dengan cara yang paling lembut sambil mendengarkan umpatan-umpatan yang ditujukan kepadanya. Nabi tak menjelaskan kepada si buta itu dengan mengatakan “Akulah Muhammad yang setiap hari kau caci-maki.”
Bersikap Adil kepada Non-Muslim
Keadilan adalah prinsrip dasar agama Islam, bahkan di dalam al-Qur’an sering kali kata adil dalam bentuk kalimat perintah (fi’il amar), lebih kurang 25 kali kata adil disebut di dalam al-Qur’an. oleh sebab itu, adil merupakan prinsip syariat Islam yang sesungguhnya.
“Adillah sejak dalam pikiran.” Begitu almarhum Pram mengatakannya.
Lawan kata dari adil adalah dhalim/lalim, yakni melakukan sesuatu tidak sesuai dengan porsi dan kapasitasnya. Suatu hari Nabi Muhammad menyuruh Muadz bin Jabal pergi ke Yaman untuk dakwah Islamiyah dengan memberikan nasehat terlebih dahulu bahwa jangan sampai bertindak lalim meskipun dengan non-Muslim.
“Berhati-hatilah dengan orang yang terdhalimi, meskipun ia orang yang ingkar terhadap kebenaran Islam (kafir), karena sesungguhnya antara ia dan allah tidak ada penghalang sama sekali” Bukhari hadis ke1425, Muslim hadis ke 4090. Menurut riwayat Anas bin Malik hadis ke-12571 “Doa orang yang terdhalimi itu mustajab (manjur), meskipun ia adalah orang yang buruk (fajir)”
Hadis di atas memberikan kita pandangan bahwa Islam adalah membela kebenaran, tapi bukan kebenaran politis, sebab kebenaran politis bisa saja dimanipulasi sedemikian rupa. Terlebih lagi, bahwa nanti di akhirat sana, saya yakin Nabi bersama orang-orang yang terdhalimi, meskipun yang didhalimi itu adalah seorang kafir. Sebab pada hakikatnya Nabi adalah manusia yang diutus untuk membebaskan orang-orang yang didhalimi.
Saya lebih sepakat dengan orang-orang yang mengkritik, untuk tidak mengatakan menjelek-jelekkan kebijakan Ahok dengan penggusuran pemukiman warga yang dianggap tidak sesuai prosedur atau kebijakan reklamasi, dari pada mengatakan bahwa Ahok menista agama Islam dan haram dipilih sebagai Gubernur karena Non-Muslim dengan menggunakan ayat-ayat yang sebenarnya masih interpretable-debatable, bahkan orang muslim yang memilihnya juga terkena getahnya dengan memberi label kafir-munafik-fasik hingga haram dishalatkan.
Demikian adalah perilaku Nabi yang bisa mungkin untuk diteladi dalam hal berhubungan dengan non-Muslim. Silahkan dilanjutkan catatan ini bagi yang masih punya pandangan tentang hubungan nabi dengan non-muslim.