Jangan Narsis dengan Ibadah yang kita Lakukan (Hikam. 132)
Table of Contents
لو أنك لاتصل إلا بعد فناء مساويك ومحو دعاويك لم تصل إليه أبدا ولكن إذا أردت أن يوصلك إليه غطى وصفك بوصفه وبنعمتك بنعمته فوصلك إليه بما منه إليك لا بما منك إليه
“Jika kau yakin, bahwa kau akan sampai kepada-Nya setelah lenyapnya semua keburukan dan sirnyanya semua hasratmu, maka selamanya kau tak akan sampai kepada-Nya. Namun, jika Dia menghendakimu sampai kepada-Nya, maka Dia akan menutupi seifatmu dengan sifat-Nya, watakmu dengan watak-Nya. Dia membuatmu sampai kepada-Nya dengan kebaikan yang diberikan-Nya kepdamu, bukan dengan kebaikan yang kau persembahkan kepada-Nya.”
Kita cukup merasakannya saja, di dalam hati dan pikiran kita masing-masing, tak perlu diungkapkan menjadi kata-kata yang justru akan menyulitkan diri kita sendiri. Setelah membacanya berkali-kali, saya rasa di antara kita semua sudah menangkap sesuai dengan pemahaman kita masing-masing terhadap maqalah di atas.
Secara sederhananya, jangan narsis dan merasa pede ibadah yang kita lakukan yang hanya untuk Allah itu menjadi satu-satunya penyebab kita wushul kepada Allah. Dua kalimat yang dicetak tebal di atas, bagi saya adalah sebuah inti dari maqalah.
Kita sering kali menganggap bahwa kita diberikan segala kenikmatan, segala macam kebahagiaan adalah karena ibadah yang kita lakukan, atau jika bukan karena ibadah, pasti kita meyakini karena kita sungguh-sungguh melakukan sebuah pekerjaan.
Kita pintar karena belajar, kita kaya karena bekerja, kita sehat karena rajin olah raga, dan lain sebagainya. Pikiran seperti demikian lumrah bagi kita yang awam ini, sebab secara kasat mata kita selalu meyakini bahwa segala akibat pasti ada sebabnya, tak ada asap jika tak ada api. Begitu kira-kira.
Lebih dari itu, sering kali juga kita mengira bahwa dengan amalan-amalan seperti puasa, wirid, hizib, dan tirakat-tirakat yang lainnya bahkan membersihkan diri sebersih-bersihnya dari semua dosa, semua itu dapat menjadikan kita wushul (sampai) kepada Allah. sehingga hati kita dikotori dengan niat untuk wushul kepada Allah. kenapa demikian?.
Sebab melakukan semua ibadah-ibadah dan membersihkan diri dengan tujuan ingin wushul kepada Allah adalah semata-mata nafsu belaka. Sehingga, apabila kita telah melaksanakan ibadah sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin dan belum juga diberikan wushul kepada Allah, maka kita akan merasa kecewa dengan semua amal ibadah itu.
Dari mana munculnya kekecewaan itu? Tidak lain dari hati kita sendiri yang diliputi oleh keinginan-keinginan, sebab keinginan adalah sumber penderitaan itu sendiri.
Kita lupa bahwa semua adalah menjadi mutlak kehendak Allah. wushul adalah semata-mata karena kasih sayang Allah dan kehendak Allah (bima minhu ilaika), bukan persoalan amal perbuatan ibadah kita secara kuantitas yang dipersembahkan kepada Allah (bima minka ilaih).
Oleh karenanya, kata guru saya, Syaitan sangat cerdik menipu kita, sebuah keburukan bisa ditampakka kepada kita seolah-olah itu adalah sebuah kebaikan.
Lalu apa yang bisa dan sebaiknya kita lakukan?.
Terkait dengan maqalah Mbah ‘Athaillah di atas, menurut saya, kita harus bisa melatih diri kita agar tidak terbujuk dengan keinginan wushul kepada Allah. segala ibadah dan aktifitas yang kita lakukan harus didasari denga keikhlasan bahwa urusan wushul atau tidak adalah mutlak urusan Allah, jika diberikan wushul bukan berarti itu karena amal ibadah kita, namun menyadarinya bahwa itu adalah semata-mata anugerah Allah. bila kita tak kunjung wushul kepada Allah, bukan berarti kita tidak diberikan anugerah, melainkan kita diberikan dalam bentuk yang lain, yang lebih baik untuk kita dapatkan, dari pada wushul kepada Allah.
Yang terpenting adalah kita tetap selalu waspada kepada diri kita sendiri, bahwa tidak semuanya kebaikan itu terwujud dalam satu bentuk saja, melainkan menjadi ribuan, ratusan bahkan jutaan bentuk. Dari sebanyak itu, masa iya kita tidak kebagian satu pun?. Mustahil.
Wa allah a’lam bisshawab…
Post a Comment