Sungguh Berat Tanggung Jawab Seorang Dosen
Terhitung sejak Agustus 2015, setelah sebulan sebelumya melaksanakan sidang tesis, saya berkesempatan mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Alquran (STIQ) sekarang sudah beralih menjadi Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) An Nur Yogyakarta, karena kebetulan saya alumni di sana, jadi mungkin ada prioritas tersendiri bagi alumni untuk bisa mengabdikan diri.
Sejak masuk, saya rajin membaca tugas-tugas seorang dosen sekaligus membaca keadaan yang secara garis besar terangkum dalam tri dharma perguruan tinggi, yakni pelaksanaan pembelajaran, penelitian, dan pengabdian.
Tiga hal itu, harus dilakukan oleh seorang dosen, hukumnya wajib ain, jika tidak ada terjadi dosa sosial yang akan menghambat aktifitas di perguruan tinggi.
Sebelum melanjutkan ini, saya ingat komentar mertua saya sebelum saya sebenar-benarnya sah menjadi menantunya.
Kata beliau dosen itu akronim dari Gaweane sak DOS, bayarane sak SEN, DOSEN. (pekerjaannya satu kardus, gajinya satu sen), sungguh akronim yang menggelitik.
Tapi saya tahu kalau mertua saya sedang guyon, bercanda. Meski demikian, anaknya sekarang masih sama saya, dan Alhamdulillah masih hidup tuh, meskipun dengan gaji satu sen itu. Hahaha.
Terkait dengan tri dharma perguruan tinggi itu, sejujurnya yang paling berat adalah penelitian.
Mengenai pembelajaran saya kira cukup dengan bacaan-bacaan yang sudah dipelajari dengan mengembangkan wacana tersebut. Hal itu bisa dilakukan dengan membaca lagi dan diskusi kecil dengan kawan-kawan.
Dalam pembelajaran seorang dosen tidak dituntut untuk menulis, kecuali membuat rencana pembelajaran tiap semester, ini pun kalau mata kuliah yang sudah diajarkan di semester yang lalu, biasanya kalau dosen males (seperti saya) pasti mengikuti Rencana tersebut dan tidak melakukan update silabus, sehingga wacana dan pembelajaran akan melulu diulang-ulang, meski dengan audien yang berbeda.
Biasanya dalam urusan pembelajaran, seorang dosen hanya memberikan beban tugas kepada mahasiswa dengan menulis makalah, artikel bebas, resensi buku, dan lain sebagainya.
Pun, jarang sekali dosen yang benar-benar serius dalam urusan perkuliahan ini, karena merasa menguasai sekaligus sudah pernah mengajar mata kuliah tersebut di semester-semester sebelumnya
Akhirnya, aktifitas di kelas tak ubahnya seperti pengajian ceramah agama dan dogma-dogma agama yang secara absolut harus begini dan begitu.
Jadi, jangan heran kalau terkadang silabusnya itu sudah dibuat di zaman orde baru, dan sampai sekarang masih digunakan tanpa diupgrade diupdate disesuaikan dengan konteks sekarang. Biasanya ini terjadi di mata kuliah-mata kuliah wajib sebagai standar nasional.
Pengabdian, saya kira pengabdian juga tidak begitu berat, sebab dalam hal ini seorang dosen hanya berurusan dengan masyarakat secara umum, pokoknnya yang penting mempunyai kontribusi secara sosial masyarakat, itu sudah dianggap sebagai pengabdian.
Misalnya menjadi khatib di hari jumat, mengisi majlis ta’lim di masyarakat setempat, melakukan pendampingan agama kepada masyarakat, dan dakwah-dakwah yang lainnya. Dan jangan lupa, mengajarkan alif ba ta kepada masyarakat di mushola/masjid itu adalah pengabdian yang paling luar biasa.
Sering kali kita merasa gengsi, masa sih seorang dosen kok mengajar alif ba ta dan tata cara sholat yang sebenarnya bisa diampu oleh ustadz-ustadz lulusan Aliyah. Padahal, nilai dan pahala yang mengalir secara jariyah itulah yang mengajarkan hal-hal paling dasar dalam kehidupan ini.
Bayangkan, kalau kita mengajarkan membaca al-Qur’an kepada satu orang saja sampai bisa, jika ia mendaras al-Qur’an berulang-ulang niscaya kita juga akan mendapatkan pahalanya.
Dalam hal pengabdian modalnya tidak banyak, cukup dengan kemauan saja sudah cukup, karena dalam hal pengabdian kepada masyarakat tuntutannya tidak seberat yang ada di lingkungan akademik.
Artinya ndak harus pinter dan cerdas, cukup dengan kemauan dan tanggap secara sosial saja. Karena biasanya pertanyaan-pertanyaan yang muncul di masyarakat juga ringan-ringan, yang sekiranya cukup dijawab secara ringkas-ringkas saja dan sederhana.
Beda sama mahasiswa, kalau nanya sukanya aneh-aneh, menggelitik dan sering kali jawaban dari pertanyaan itu tidak bisa sesederhana dengan mengatakaan boleh-tidak boleh, baik-tidak baik, dan lain seterusnya.
Melainkan jawabannya harus detail seperti menjawab kenapa, mengapa, kok bisa begitu bisa begini, dan lain-lain. Tentu ini bukan sebuah masalah, karena mahasiswa memang dituntut demikian, untuk mempertanyakan hal-hal yang paling mendasar sekalipun.
Dalam hal ini seorang dosen harus bisa menempatkan posisinya dan mempertimbangkan audiennya. Saya sering kali menunda jawaban dari mahasiwa, bahkan tidak menjawab dari pertanyaan mahasiswa karena ketidak tahuan saya.
Seperti yang sering didawuhkan oleh Guru saya yang mengutip kalimat imam Maliki, la adri nisful ilmi, “menjawab dengan ‘tidak tahu’ adalah setengah dari ilmu.”
Dengan bermodal nasehat dari guru saya itu, menjadikan saya percaya diri bahwa mengatakan tidak tahu jawabannya adalah cara itu merendahkan diri kita dan menyadari bahwa ilmu kita tak ada apa-apanya sama sekali jika dibandingkan dengan yang lainnya.
Terakhir adalah penelitian, sungguh ini adalah pekerjaan paling berat bagi seorang dosen.
Pernah seorang teman mengatakan “enak ya jadi dosen, ngajar cuma sebentar saja, satu minggu hanya sehari dua hari boleh, itu pun hanya beberapa jam saja.” O, enak dari Holland, tunggu dulu.
Justru karena tanggung jawab mengajar seorang dosen itu sedikit, ia dituntut untuk melakukan hal-hal di luar kelas: penelitian dan menulis.
Memang beban mengajar guru di sekolah sangat-sangat memberatkan, beberapa teman saya yang jadi guru, dalam satu minggu bisa mengajar sampai 30 jam, itu pun harus setiap hari masuk.
Itu pulang sekolah pasti langsung klenger ngepleh-ngepleh. Bagi yang jomblo mungkin tidak begitu memberatkan, coba kalau sudah berkeluarga apalagi punya anak. Duh, matinya setengah pusing, eh pusingnya setengah mati.
Berbeda dengan dosen yang diberikan beban mengajar yang relatif pendek, misalnya satu semester hanya 8-12 sks. Ya paling kalau dikalkulasi hanya 10-15 jam saja tiap minggu. Itu pekerjaan yang sangaat ringan dalam hal mengajar. Namun, di luar itu, dosen harus melakukan penelitian dan penulisan, seperti jurnal terutama.
Kalau jurnal di kampus sendiri masih agak ringan, tapi kalau jurnalnya lintas kampus, daerah dalam skala nasional, bahkan harus tembus di jurnal internasional?. Duh, ini ujian! Sungguh ini ujian yang nyata.
Bagi saya, penulisan adalah paripurnanya dari sebuah ilmu, sebab adanya aktifitas pembelajaran karena adanya ilmu yang ditulis. Jadi ilmu yang kita pelajari saat ini, tidak lain adalah hasil dari rangkaian penelitian yang dilakukan oleh gerasi-genarasi sebelum kita.
Jika tiada ilmu yang ditulis, niscaya ilmu itu akan hilang dengan wafatnya orang-orang yang berilmu. Sebagaimana sabda Nabi, “Allah mencabut ilmunya dengan cara mencabut nyawa orang-orang yang berilmu.” Nah ilmu ini dihasilkan dari mana?
Satu-satunya jawaban yang paling tepat adalah dengan cara melakukan aktifitas penelitian. Saya kasih contoh:
Alquran, jika dulu Nabi tidak menyuruh para sahabat untuk menulis, niscaya mushaf tak akan sampai kepada kita.
Di zaman sahabat muncul beberapa mushaf dan qiraat yang mengakibatkan kebingungan masyarakat bagaimana cara membaca Alquran yang benar, lalu sahabat Usman melakukan penelitian dengan asistennya Zaid untuk menyalin mushaf menjadi lima mushaf, dalam penyalinan itu Zaid punya metode syarat bacaan Alquran diterima dan ditulis kembali, yakni harus ada yang menjadi saksi minimal dua orang sekaligus ditemukan tulisannya. Penelitian inilah yang hasilnya bisa kita rasakan sampai hari ini yang dikenal dengan rasm Usmani.
Contoh yang kedua adalah Hadis. Imam al-Bukhari konon hafal hadis sampai seratus ribu hadis beserta sanad-sanadnya. Jika beliau tidak melakukan penelitian, niscaya tebalnya shahih bukhari itu tidak segitu, melainkan menjadi berpuluh-puluhan jilid.
Shahih Bukhari yang jumlah hadisnya sekitar 9600 hadis itu berkat penelitian dari Imam Bukhari. Bayangkan saja. Dari seratus ribu hadis diteliti keshahihahannya hingga menjadi 9ribu hadis, sepuluh persennya saja.
Ini ibaratnya sampean punya seratus ribu batu, terus sampean milih satu persatu batu itu yang ciri-cirinya, misalnya ada tanda merahnya sejumlah 9ribu biji batu. Kurang kerjaan sekali!
Begitu berat penelitian yang dilakukan oleh beliau-beliau itu. Sebab di dalam penelitian adalah puncak akumulasi keseriusan seorang dosen. Beberapa hal yang mungkin menjadi faktor utama, tidak lain adalah membaca.
Begitulah sulitnya jadi dosen yang ideal. Kalau tidak ideal ya tinggal santai saja, ngajar-pulang ngajar-pulang ngajar-pulang gitu aja terus, sambil punya peternakan, toko klontong, bisnis online dan yang lalinnya sekiranya bisa buat sampingan dan penambah penghasilan, ya karena semata-mata gaji dosen itu ya sen itu tadi.
Sekarang saya juga tiap hari ke kantor karena merangkap jadi staff, jadi kewajiban perguruan tinggi yang ada tiga itu, ditambah satu lagi yakni pelayanan akademik. Namanya bukan tri dharma lagi, tapi sapta dharma perguruan tinggi. Hehehe…
Bagi yang sudah menjadi dosen, jangan khawatir meski gajinya satu sen. Karena masyarakat kita sudah terkonstruk bahwa seorang dosen adalah luar biasa, oleh karena itu minimal kita agak bangga ketika ditanya orang lain atau calon mertua.
“Sampean kerja di mana, Mas.?”
“ehhm. Ini Alhamdulillah saya jadi dosen di perguruan tinggi.” Sambil senyum-senyum dan bahunya digerak-gerakkan.
“Wah, keren ya, Mas. Gajinya berapa ya?”
“ehmm… kalau gajinya nganu pak, eeeee ini… eeee gimana ya. Kalau gajinya itu sih. Eeeee.” Nyruput kopiii takut grogi.
Post a Comment