Apakah Benar Mendidik Anak Tanpa Kekerasan Itu Milik Orang Barat?
Table of Contents
Yahya usia 3 bulan. 7/10/2018 |
Anak teman saya, yang berusia tiga tahun sedang berada di tengah-tengah kami, di antara kepulan asap rokok dan kopi.
"Wah, saya kalau sama anak, sering saya kaplok dan tempeleng. Biar kapok dia." Celetuk teman saya yang usia anak pertamanya kira-kira 4 tahun, laki-laki.
"Iya, kamu itu kalau sama anak kaya gitu." Balas teman saya yang satunya. Teman saya satu ini memang tidak begitu dengan kekerasan dalam mendidik anak, maksimal disentik pakai jari telunjuk, anaknya sudah diam.
Terlepas dari cara mereka mendidik anak, saya yakin tidak ada orang tua yang mempunyai niat buruk terhadap anak, sebaliknya apapun yang dilakukan oleh orang tua pasti untuk kebaikan anaknya, termasuk cara mendidik, dengan kekerasan atau tidak. Itu semua pilihan mereka, dan semua orang tentunya.
Namun, saya sendiri, hingga usia Yahya yang baru 4 bulan, dan kelak hingga ia dewasa, saya masih bersikukuh untuk tidak mendidiknya dengan cara kekerasan.
Seingat saya, saya belum pernah membentak Yahya karena rewel. Justru, ketika istri yang membentak Yahya (mungkin karena capek dan Yahya malah rewel) saya sering bilang sama istri "Anak belum tahu apa-apa kok dibentak-bentak."
Ini bukan persoalan pendidikan Barat Modern dan Timur. Sampai sekarang masih ada dan sering kali yang beranggapan bahwa pendidikan Barat modern itu dilarang membentak anak, memukul, dan menakut-nakuti. Dan, pendidikan timur cenderung lebih keras dengan bentak-bentak, dikit-dikit kaplok dan berbagai hukuman fisik lainnya.
Inilah sebabnya, mungkin, dimungkinkan karena terdapat hadis sahih dari Kanjeng Nabi Muhammad yang menyatakan "Pukullah anakmu di umur 10 tahun ketika ia tidak mau menjalankan salat." Kata pukullah memakai redaksi Dlaraba.
Padahal, kalau kita mau sabar sebentar dan membuka fikih-fikih klasik, misalnya syarah safinah dan fathul qarib, dua kitab itu menjelaskan bahwa memukul anak harus dengan catatan tidak menimbulkan rasa sakit berlebihan, salah satunya pakai lidi atau pakai kain tipis. Tidak ada yang menyarankan pakai tangan bahkan kayu menjalin misalnya.
Saya jadi ingat kisah populer istri Nabi Ayub. Suatu saat ketika Nabi Ayub diberikan ujian oleh Allah dengan penyakit kulitnya itu, sang istri menyarankan kepada Nabi Ayub "Mas, mbok njenengan minta sama Allah agar segera disembuhkan."
Apa jawab Nabi Ayub?
"Saya bersumpah, ketika saya sudah sembuh nanti, kelak kamu akan saya pukul 100 kali." Kata Nabi Ayub. Ia melanjutkan "Saya itu sudah diberi sehat oleh Allah puluhan tahun, dan baru kali ini diberikan rasa sakit, kok merengek-rengek minta sembuh, apa saya tidak malu dan tidak bersyukur sama Allah?."
Seketika istrinya diam seribu bahasa.
Ketika sudah sembuh, Nabi Ayub memanggil istrinya "Saya dulu pernah bernazar untuk memukulmu 100 kali, saya harus menunaikannya."
Sebagai istri yang manut kepada suami, ia mengatakan "Silahkan, Mas."
Nabi Ayub mengambil 100 batang sapu lidi, dan pelan-pelan dipukulkan kepada istrinya satu kali. Kata Nabi Ayub "100 lidi ini sudah berarti 100 kali pukulan."
Pada dasarnya, tidak semuanya orang yang memilih mendidik anaknya dengan cara lemah-lembut, tidak dibentak-bentak bahkan dipukul itu meniru orang Barat, justru itulah yang diajarkan oleh Islam. Hanya sampeyan saja yang belum tahu dasar-dasarnya. Kapan-kapan akan saya tulis beberapa tokoh yang saya anut dalam hal ini.
Saya ingat pepatah "Jika anak dibesarkan dengan kekerasan, maka ia tumbuh dengan ketakutan."
Post a Comment