Akhirnya Bisa Ngaji Ihya

Table of Contents

Hari Minggu, 29 September 2019. Tepat pukul 09.40 pagi saya di WhatsApp guru saya, sore itu saya didawuhi ke ndalem. Seketika saya jawab nggih.

Dari pagi sampai sore saya berpikiran aneh-aneh, salah satunya takut didukani tentang apa atau tindakan apa yang saya lakukan. Tapi saya pikir-pikir kembali, guru saya ini sosok yang, alih-alih  bermuka masam, beliau selalu tersenyum dan ramah kepada orang-orang, bahkan dengan murid-muridnya.

Kecuali, dalam persoalan ngaji. Itu pun marahnya tidak kelihatan, kalah dengan keramahannya.

Pernah suatu kali, karena saya absen berminggu-minggu tidak ngajar diniyah, beliau cuma bertanya sama saya kenapa kok nggak ngajar berminggu-minggu. Itu saja.

Akhirnya, di hari itu saya tidak berpikiran yang aneh-aneh, tapi masih dagdigdug.

Sore setelah mandi dan salat asar, saya sowan ke ndalem, mengucapkan salam hingga 3 kali tidak ada jawaban, saya putuskan menunggu di depan. Ada teman santri yang datang untuk ngobrol.

"Lho, rene, Kang." Suara itu memecah obrolan kami.

"Ngomong karo sopo?" Tanya beliau.

"Sama kang-kang"

Guru saya duduk, saya memposisikan memilih tempat duduk yang sejajar, sebab yang lain ada tempat duduk yang lebih tinggi dari tempat yang beliau duduki.

Bukan kepalang bahagianya, sore itu beliau mengatakan kalau mau membuka ngaji ihya ulumudin. Betapa tidak senang, sebab dua tahun yang lalu saya minta kepada beliau untuk ngaji ihya.

Beliau juga sudah didawuhi oleh gurunya, untuk membuka ngaji ihya. Seingat saya, juga sudah lama didawuhi, mungkin karena keterbatasan waktu, beliau memutuskan untuk ngaji ihya setiap hari minggu sore setelah salat asar.

Guru saya ini namanya Mohammad Rumaizijat. Masih muda dan alim sekaligus cinta kepada ulama. Lain kali saja akan saya tuliskan tentang guru saya.

Saya sudah lama punya kitab ihya, sebenarnya ini kitab bapak saya ketika masih mondok di Lasem. Bapak saya pernah ngaji tapi tidak sampai selesai. Di kitab yang saya bawa ini tertulis 1 Dzulqa'dah 1409 H atau bertepatan dengan 5 Juni 1989.

Ketertarikan kitab ihya ini bagi saya secara pribadi karena Gus Baha, dulu waktu ngaji rutinan Gus Baha sebulan satu kali di Bantul, sering kali Gus Baha menggandakan potongan kitab Ihya lalu dibagikan kepada jamaah.

Cerita-cerita tentang Imam Ghazali dari Gus Baha membuat saya tertarik dengan kitab tersebut, apalagi Gus Baha pernah mengatakan bahwa:
Tidak ada wali yang tidak pernah ngaji Ihya, Semua wali setelah Imam Ghazali pasti pernah ngaji
Tentu saja, saya sadar diri ngaji ihya bukan karena motif ingin jadi wali, melainkan saya ingin mengetahui seluk-beluk pemikiran Imam Ghazali lebih dari sekedar pengetahuan, tetapi juga pemahaman internalisasi dari seseorang yang benar-benar alim sekaligus saya percayai bahwa beliau bisa mengantarkan saya kepada Allah.

Semoga saya bisa istikamah. Jika diberi kekuatan dan niat yang baik dari Allah, insya allah saya akan menulis catatan-catatan kecil tentang ngaji ihya ini, sebagai wujud kecintaan saya kepada guru saya.
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: janurmusthofa@gmail.com