Kenapa Imam Ghazali Menulis Kitab Ihya?

Table of Contents

Sesuai dengan keinginan saya, pada unggahan curhat sebelumnya tentang ngaji ihya, Insyaallah saya akan menuliskan di sini tentang rangkuman ngaji yang saya ikuti. 

Ngaji ihya ini, ngaji sistem kelas 2 yakni dengan bandongan. Yang membaca guru saya, kami sebagai pendengar saja dan ngabsahi kitab dan sekaligus memberikan catatan ketika ada hal-hal yang menurut kami penting. Tidak ada interupsi dan, tidak ada sesi tanya jawab.

Imam Ghazali ini sesuai dengan penjelasan guru saya merupakan salah satu mujadid di abad 5 Hijriyah. Ia adalah murid dari Imam Haramain, ulama kondang tentang filsafat dan fiqih, namun kekondangannya itu kalah bersamaan dengan nama besar Imam Ghazali. Jika ada yang belum mengenal secara ringkas tentang Imam Ghazali silakan baca artikel berjudul Biografi singkat Imam Ghazali.

Pada pembukaan kitab ini, Imam Ghazali menceritakan tentang proses perjalanan penulisan kitab Ihya. Ia melakukan salat istikharah terlebih dahulu bahwa ia mempunyai keinginan yang kuat untuk mengarang kitab tersebut dengan tujuan untuk menghidupkan ilmu-ilmu agama.

Pada pembukaan, Imam Ghazali benar-benar merasa sangat geram dengan tingkah laku orang-orang muslim yang hidup di sekitarnya pada saat itu. Secara tegas, Imam Ghazali menyatakan hal tersebut karena aktivitas laku tasawuf yang dilakukan oleh Imam Ghazali dianggap sebagai aktivitas yang tak mempunyai kontribusi apa-apa.

Hal tersebut yang membuat Imam Ghazali tidak bisa tinggal diam. Sampai di sini, kita dapat memahami bahwa pada saat itu, laku tasawuf benar-benar menjadi laku yang tak lazim dan aneh. Oleh Imam Ghazali orang-orang yang ingkar tersebut, disebabkan karena kebodohan dan mereka sedang mengidap penyakit hati.

Kritik Imam Ghazali kepada (pseudo) Ulama

Al-mutarassimun atau ulama jadi-jadian adalah istilah yang digunakan oleh Imam Ghazali untuk menyebut para ulama yang melenceng dari hakikatnya sebagai ulama. Salah satu alasannya adalah, bahwa ulama jadi-jadian tersebut pada saat itu hanya mementingkan kehidupan dunia.

Mereka memberikan anggapan kepada masyarakat bahwa ilmu bisa memberikan manfaat adalah ilmu hukum, ilmu debat dan ilmu tentang puisi atau sajak.

Ilmu hukum yang bertujuan untuk menjadi hakim. Guru saya menjelaskan bahwa pada saat itu status menjadi hakim adalah jabatan yang prestise dan menguntungkan secara finansial.

Ilmu debat digunakan hanya untuk adu bicara dan retorika untuk mengalahkan lawannya, sedangkan ilmu sajak atau puisi, oleh Imam Ghazali hanya digunakan untuk membodohi masyarakat pada saat itu.

Ketiga ilmu tersebutlah yang dikritik oleh Imam Ghazali, bahwa ketiganya hanya digunakan untuk mengejar cita-cita untuk kepentingan dunia saja.

Guru saya menambahkan bahwa, dari penjelasan tersebut bukan melarang kita mempelajari ilmu-ilmu tersebut, hanya saja kita harus bisa mengubah niatnya, tidak untuk kepentingan dunia.

Sampai di sini, pada hakikatnya yang dikritik oleh Imam Ghazali bukanlah ilmu-ilmunya, tapi tujuan-tujuan dan niat yang dikehendaki untuk menggapai dunia. Ia juga tidak mengkritik ulama secara umum, tapi mengkritik para ulama yang tingkah lakunya tidak sesuai dengan ajaran dan sekaligus aturan seharusnya.

Semoga kita dilindungi oleh Allah dari niat-niat yang buruk.

Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: janurmusthofa@gmail.com