Perbedaan Ilmu Mukasyafah dan Ilmu Muamalah di dalam Kitab Ihya Ulumudin
Perbedaan Ilmu Mukasyafah dan ilmu muamalah di dalam kitab Ihya Ulumiddin. Ilmu Mukasyafah adalah ilmu yang disebut di dalam kitab ihya disebut sebagai ilmu yang tidak boleh diamalkan. Ada juga pendapat yang menjelaskan bahwa mukasyafah ilmu batin yang dibuka oleh Allah subhanahu wa taala yang diberikan kepada hambanya yang salih dan taat.
Pengantar
Sekarang tanggal 29 Desember 2019. Bulan terakhir di akhir tahun, pada bulan ini Gus Dur wafat, dan Guru saya KH. Nawawi Abdul Aziz juga wafat.
Ngaji Ihya ke 7 pada 22 Desember 2019. Pada ngaji ini, masih membaca pendahuluan di dalam kitab Ihya. Fokus pembahasan dalam ngaji ini adalah pembagian ilmu yang dilakukan oleh Imam Ghazali.
Seturut pendapat Imam Ghazali dan dijelaskan secara jernih oleh Guru saya, Gus Rumaizijat adalah arti dari ilmu mukasyafah dan ilmu muamalah, sebab kedua ilmu tersebut bisa mengantarkan umat muslim kepada nilai-nilai akhirat. Artinya, ilmu apapun yang dipelajari oleh seorang muslim, sejatinya bisa bernilai pada ibadah, tergantung pada niatnya dalam mencari ilmu tersebut.
Pertama, ilmu mukasyafah
Ilmu mukasyafah adalah ilmu yang hanya berfungsi untuk menyingkap pengetehuan saja, tidak lebih, tanpa harus diamalkan/dipraktikkan. Sebab apabila ilmu mukasyafah ini diamalkan maka akan berbahaya, karena bisa dimaknai secara tidak tepat oleh orang awam.
Ilmu mukasyafah dalam terminologi sufi, sering sepadan dengan istilah hal (kondisi jiwa seorang salik), artinya ini bersifat wahbiyyah (pemberian) dari Allah. Ilmu jenis ini, biasanya diberikan oleh Allah kepada para Nabi, wali dan orang-orang alim/wali.
BACA JUGA: Dimensi Esoteris dalam Islam
Namun, meski ini adalah pemberian dari Allah, tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum legal-formal dalam Islam seperti fikih. Sebab yang digunakan bukan dimensi lahiriyahnya, melainkan dimensi batiniyahnya.
Jika dipaksa untuk digunakan sebagai landasan hukum formal, maka akan berbahaya bagi tatanan masyarakat pada umumnya.
Misalnya, kisah Nabi Khadr dengan Nabi Musa yang diabadikan dalam Al-Qur'an surat Maryam itu. Tiga kali berturut-turut Nabi Musa protes kepada Nabi Khadr tentang tragedi dan peristiwa yang tidak sewajarnya.
- Melobangi kapal milik nelayan yang masih bagus.
- Membunuh Anak Kecil yang terlihat polos dan tidak berdosa.
- Membantu renovasi rumah orang Nonmuslim.
Ketiga peristiwa itu dibantah oleh Nabi Musa karena tidak sesuai dengan pakemnya. Dengan alasan, kenapa kok melobangi kapal milik orang miskin? Mengapa membunuh anak kecil yang tidak berdosa? Mengapa harus membantu renovasi rumah milik orang yang bukan muslim?
Inilah yang namanya ilmu Mukasyafah. Sifatnya wahbiyyah (pemberian) dan hanya untuk pengatahuan secara pribadi saja, tidak bisa dipakai sebagai hukum formal yang dimiliki oleh ilmu-ilmu fikih.
Sebagaimana Nabi Muhammad juga pernah dan bahkan sering mengalaminya.
Mukasyafah yang dialami oleh Nabi Muhammad
Suatu hari ada seorang sahabat yang melaporkan ada seorang pencuri, Nabi tiba-tiba mengatakan "Bunuh saja dia" dan para sahabat menjawab "Dia cuma mencuri, masa iya dibunuh". Akhirnya dipotong tangannya.
Hal itu terjadi hingga 3 atau 4 kali. Dan akhirnya ia dibunuh.
Jika sahabat pada masa itu langsung mengikuti perkataan Nabi, niscaya hukum akan menjadi berubah-ubah dan tidak konsisten. Ini karena Nabi menghukuminya dengan ilmu mukasyafah, Nabi tahu bahwa pencuri itu tidak akan berhenti dan bertaubat kecuali harus dibunuh.
BACA JUGA: Nabi Muhammad dan Sayyidina Ali dalam Persoalan Kurma
Kedua, ilmu Muamalah
Ilmu muamalah adalah ilmu yang tujuannya memang untuk diamalkan, bahkan hukumnya wajib untuk diamalkan. Contohnya banyak sekali mulai dari tata cara salat, zakat, puasa, haji dan lain-lain. Ilmu-ilmu tersebut jika hanya dipelajari tanpa diamalkan hanya akan menjadi ilmu yang tidak bermanfaat.
Ilmu-ilmu yang kedua inilah yang akan dijelaskan di dalam Kitab Ihya Ulumudin secara kesuluruhan. Sebab, kata Imam Ghazali tidak ada alasan untuk menuliskan ilmu-ilmu mukasyafah, meskipun ilmu mukasyafah ini adalah ilmu yang dicari dan dijadikan sebagai tujuan dalam menuntut ilmu.
Kembali lagi, ya karena ilmu mukasyafah itu sangat rawan jika diungkapkan, apalagi dituliskan. Bisa merusak tatanan sosial dan akan menimbulkan kesalahpahaman.
Ilmu muamalah di sini khusus dalam terminologi Imam al-Ghazali di dalam kitab Ihya Ulumiddin. Bukan ilmu muamalah dalam konteks ilmu fikih.
Simpulan
Dari penjelasan tentang ilmu mukasyafah dan ilmu muamalah di atas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya di dalam ilmu mukasyafah terdapat rahasia yang tidak diketahui oleh semua orang. Ilmu jenis ini memang seharusnya untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain. Sebab, jika pengalaman spiritual kita terungkap oleh orang lain, maka khawatir akan disalahpahami.
BACA JUGA: Kenapa Aswaja Memilih Imam al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi?
Hal itulah yang bisa membahayakan stabilitas keilmuan Islam. Sedangkan, ilmu yang bisa dimiliki dan dicari oleh hampir semua orang adalah ilmu-ilmu muamalah. Ilmu muamalah di sini jangan diartikan dalam perspektif fikih, namun menggunakan pemahaman imam al-Ghazali di dalam kitab Ihya Ulumiddin yakni, ilmu-ilmu yang wajib untuk diamalkan dan dipraktikkan sebab berkaitan erat dengan agama Islam.