Menjadi Bapak
Table of Contents
Mungkin, ini semua karena orang-orang yang saya kagumi selama ini memanggil orang tuanya dengan sebutan Bapak. Guru-guru saya banyak yang memanggil orang tuanya dengan bapak, dan anak-anak beliau juga memanggilnya dengan sebutan bapak.
Sumber Gambar |
Itu mungkin yang menjadi alasan kenapa saya ingin dipanggil bapak saja, bukan ayah, abah, atau lainnya.
Menjadi bapak, bagi saya adalah menjadi siap untuk mengingat-ingat kembali masa kanak-kanak. Tidak semua masa kanak-kanak adalah masa bahagia, sebab di usia itulah kita dibentuk dan dibesarkan hingga bisa memengaruhi pola pikir, hidup, psikologi hingga kebiasaan kita kelak ketika dewasa.
Mungkin kita pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak, orang tua yang suka memukul, membentak hingga melabeli anak-anaknya, "meskipun" hanya dengan sebutan nakal, bandel, cengeng, dan lain-lain. Bahkan sering kali mereka tidak tahu bahwa memukul, membentak dan melabeli anak bisa memengaruhi perkembangan anak.
Ingatan-ingatan seperti itu bukan untuk menyalahkan orang tua kita saat ini, kita harus memaafkan mereka, sebab jasa mereka jauh lebih besar dari semua kesalahan yang pernah mereka lakukan. Tidak ada yang sempurna adalah kalimat paling niscaya untuk kita sadari.
Bagi saya, menjadi bapak harus bisa memaafkan masa lalu, ia hanya kepingan yang harus kita letakkan pada tempatnya bersama kepingan yang lain, bukan untuk dibawa-bawa.
Menjadi bapak berarti menjadi sosok yang baru, jiwa yang baru, kesadaran yang baru dan, cinta yang baru.
Cinta kita akan berlipat-lipat arti dan maknanya. Saya jelas sekali tidak sempurna bagi istri dan anak saya, namun setidaknya saya selalu berusaha untuk menjadi lebih baik, bagi keluarga.
Menjadi bapak bukan persoalan menjadi superior di dalam keluarga, sebab keluarga bukan soal bagi-bagi tugas dan pekerjaan, namun keluarga adalah lahan pendidikan hidup yang paling aplikatif untuk berlatih menjadi manusia yang lebih baik.
Permasalahan yang datang silih dan berganti dianggap sebagai wahana latihan diri untuk lebih kuat, lebih sabar, lebih nrimo, lebih gigih dan lebih menjadi baik dalam segala hal.
Karena menganggap sebagai latihan, maka kegagalan bukanlah berarti akhir dari segalanya. Selama kita masih menganggap diri sebagai manusia, selama itulah kita bisa selamat dari dusta dan derita. Sejatinya memang demikian adanya, kalian tentu tahu tentang hal ini.
Menjadi bapak adalah menjadi teman untuk anak, kita tidak diberi tugas untuk membentuk mereka menjadi ... kita hanya diberi tugas untuk mendampingi mereka, mengajarkan mereka tentang kebaikan, karena mereka bukan milik kita, anak-anak adalah milik kehidupan. Ia akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan hidup yang akan ia jalani.
Menjadikan mereka sebagai sasaran keinginan kita adalah sama saja memaksakan kehendak diri kita kepada orang lain, sedangkan kita sendiri tidak pernah mau untuk menuruti kehendak orang lain.
Anak-anak bukanlah hanya anak-anak pada usianya, mereka adalah manusia seutuhnya, sama seperti kita.
Melihat mereka sebagai manusia lebih mendewasakan kita daripada menganggap mereka sebagai anak-anak semata.
Menjadi bapak bukan menjadi orang yang sok kuat, sebab beban dan tanggungjawab memang lebih besar dari yang lain, terkadang kita butuh menangis, entah karena sedih, kesal, capai, lelah hingga merasa gagal. Selama kita menganggap bahwa itu wajar, minimal sebagai pengingat bahwa kita adalah lemah, dan butuh sandaran yang lebih kuat.
Maka ada baiknya, kita mencoba untuk menyandarkan semua beban yang ditanggung kepada yang maha kuat.
Sesekali bersedih dan menangis bukanlah persoalan yang berarti, ia ada untuk bisa kita sadari; semata-mata menekan kesombongan dan pamrih yang menjadi penyakit di dalam hati kita.
Menjadi bapak adalah menjadi mengerti, bahwa tugas mendidik tidak hanya dibebankan oleh seorang ibu, tetapi juga bapak.
Post a Comment