Mengapa Harus Mengenal Tuhan?
Satu kalimat nyeletuk yang ditanyakan oleh mahasiswa ketika sedang berlangsung kuliah ilmu tauhid. Ini pertanyaan sederhana yang mendasar, namun jawabannya tidak sesederhana pertanyaannya, butuh pembahasan yang cukup njelimet. Sebab ini berhubungan dengan filsafat. Apalagi, pembahasan filsafat yang paling rumit untuk diselesaikan adalah persolan ontologi; tentang keberadaan. Tuhan termasuk wilayah ontologi tersebut.
Saya pernah menulis tentang ontologi secara sederhana bisa diklik di sini.
Sependek pemahaman saya, pembahasan mengenai tuhan tidak akan pernah purna. Selama manusia hidup di dunia ini, selama itu tuhan akan diperdebatkan dan dibahas. Alasannya sederhana; manusia tidak akan pernah puas dengan jawaban-jawaban yang ada, jika dikumpulkan semua jawaban terkait tuhan mulai dari Socrates hingga hari ini.
Oleh sebab itu, percuma saja mengutarakan semua
alasan-alasan, semua alasan itu tidak akan pernah bisa memuaskan hasrat manusia
secara universal. Sampai di sini, kita tahu bahwa jawaban dari pertanyaan itu
adalah relatif-subyektif.
Itulah yang harus dicatat.
Namun, untuk menjawab pertanyaan di atas, saya akan
memberikan argumentasi yang sebisa mungkin akan disederhanakan. Paling tidak,
bisa memberikan gambaran bahwa mengenali tuhan adalah hal yang niscaya.
Dalam pandangan saya, hanya ada satu alasan yang paling
rasional untuk menjawab mengapa kita harus mengenal Tuhan?
Karena, logika dan rasionalitas kita terbatas, atau jika tidak
nyaman dengan hal tersebut, saya akan mengatakan bahwa akal kita dibatasi oleh
ruang dan waktu. Seiring berjalannya usia, maka nalar dan rasionalitas kita akan
menurun dengan sendirinya. Kebenaran-kebenaran yang kita pegang hari ini, tidak
menjamin juga menjadi kebenaran di tempat-tempat tertentu.
Misalnya, ketika berbicara dengan orang yang kita hormati,
melihat sorot mata adalah hal yang tidak sopan. Namun, jika hal ini kalian
lakukan di dunia Barat, maka dianjurkan melihat sorot mata, jika tidak kita
akan dianggap sebagai orang yang tidak sopan dan tidak menghargai orang lain.
Berbeda bukan?
Inilah alasannya kebenaran itu dibatasi oleh ruang dan
waktu. Oleh karena itu, beberapa filsuf tidak meyakini adanya kebenaran
universal dan absolut.
Karena keterbatasan itu, maka kita butuh istilah-istilah
yang bisa memuaskan dahaga manusia tentang kebenaran. Ketika manusia tidak bisa
menghitung jumlah simetri lingkaran, untuk memberikan jawaban tersebut maka
dimunculkan istilah “tidak terhingga”. Terminologi ketidakterhinggaan itulah
yang menolong manusia dari keterbatasan akal.
Kemunculan istilah Tuhan juga demikian, ketidakpuasan
manusia dalam menjawab persoalan-persoalan yang terlampau besar, seperti
penciptaan alam semestara raya yang maha agung ini. Mungkin orang yang tidak
percaya atau tidak tahu konsep Tuhan, ia akan memunculkan istilah yang lain
misalnya seperti Aristoteles mengatakan “Penggerak yang tak bergerak” atau
istilah Jawa Kuna “Tan kena kinaya ngapa” – yang tak bisa diapa-apakan
keberadaannya.
Pada intinya, manusia membutuhkan sesuatu yang lebih besar
dan lebih agung dari dirinya sendiri, bisa adikuasa, adidaya, adiluhung dan
lainnya. Oleh karena itulah istilah Tuhan dimunculkan. Untuk menunjukkan ketidak-kuasaan
manusia di dalam memikirkan mikro-makro kosmos.
Penjelasan di atas, tidak ada sama sekali mengutip al-Quran
maupun hadis. Saya sengaja sebab persoalan tentang Tuhan ini sudah ada, jauh
sebelum Al-Quran dan hadis ada, jauh sebelum Nabi Muhammad di utus menjadi
Nabi.
Jika kita kembali merujuk pada teks-teks agama, maka jawaban itu sungguh banyak sekali bertebaran di dalam ayat al-Qur’an dan hadis tentang mengapa kita harus mengenal Tuhan.
Post a Comment