Sekte Mu'tazilah: Sejarah, Tokoh dan Pokok-Pokok Ajarannya
QOWIM.NET - Setelah perpecahan umat Islam dalam persoalan politik di perang Shiffin antara Sayyidina Muawiyah dan Sayyidina Ali, kelompok yang paling menonjol adalah khawarij sebagai sekte penentang Ali dan Muawiyah, kelompok yang loyal kepada Sayyidina Ali sebagai bibit sekte Syiah, dan kelompok yang membela Muawiyah.
Menurut Zuhri dalam bukunya Pengantar Ilmu Tauhid mempunyai asumsi bahwa salah satu tokoh besar yang loyal kepada Muawiyah adalah Hasan al-Bashri yang, disebut-sebut sebagai pelopor teologi Qadariyah dengan adagium populernya "Man kafara bil qadar faqad kafara" - barang siapa yang mengingkari qadar maka dia sudah kafir.
Lebih jauh, berdasarkan asumsi di atas Zuhri juga menyimpulkan bahwa Hasan Al-Bashri juga pendiri sekte Mu'tazilah. Dalam pandangan saya, itu adalah asumsi yang terlalu jauh.
Sejarah Sekte Mu'tazilah
Sebagaimana yang sudah disinggung di atas, bahwa cikal bakal teologi Mu'tazilah adalah Qadariyah. Paham Qadariyah yang memutlakkan kehendak manusia tanpa adanya peran Allah selanjutnya diwarisi oleh paham Mu'tazilah.
Di dalam buku berjudul Islam karya Fazlurrahman mengemukakan bahwa pertanyaan pertama di dalam Islam yang menjadi PR besar hingga mengakibatkan perpecahan umat Islam adalah:
"Apakah seorang Muslim masih bisa disebut Muslim setelah ia melakukan dosa besar? Apakah Iman cukup di dalam hati, atau harus dinyatakan di dalam ucapan dan perbuatan?"
Dua jawaban pertanyaan di atas akan menjadi pertanyaan yang sering ditemui ketika mempelajari tentang ilmu tauhid. Pertanyaan tersebut juga menjadi alasan besar kenapa banyak terjadi perpecahan pemikiran di dalam Islam.
Jawaban sederhana dari beberapa kelompok adalah sebagai berikut:
- Khawarij menjawab mutlak kafir dan masuk neraka.
- Murjiah menjawab biarkan Allah yang memutuskan kelak di hari kiamat
- Qadariyah menjawab tergantung amal dan perbuatannya selama hidup.
- Mu'tazilah menjawab ia berada di antara surga dan neraka yang terkenal dengan sebutan manzilah bainal manzilatain
Munculnya Nama Mu'tazilah
Imam Syahrastani di dalam kitab Milal wa Nihal merekam kisah antara Hasan Al-Bashri dan Washil bin Atha' yaitu pendiri sekte Mu'tazilah.
Alkisah, Washil bin Atha adalah pengikut Hasan Al-Bashri, ia mengikuti pengajian-pengajian yang digelar oleh Hasan Al-Bashri di masjid Basrah. Pada saat pengajian berlangsung, salah seorang muridnya bertanya tentang nasib seorang Muslim yang melakukan dosa besar. Apakah ia masih muslim atau tidak?
Di saat Hasan al-Bashri masih berfikir untuk menjawab, secara spontan Washil ibn Atha (80-131 H/699-749 M) memberikan jawaban.
"Menurut pendapat saya katanya, orang mukmin yang berbuat dosa besar maka statusnya tidak lagi mukmin sempurna namun juga tidak kafir sempurna. Dia berada di antara dua posisi yang disebutnya al-Manzilah bainal Manzilatain"
Sesudah mengemukakan pendapat tersebut, Washil ibn Atha langsung meninggalkan forum pengajian Hasan al-Bashri dan diikuti oleh temannya yang bernama ‘Amr ibn Ubaid. Mereka langsung menuju salah satu tempat lain di dalam masjid tersebut. Melihat tindakan Washil dan temannya itu, Hasan al-Bashri pun berkomentar dengan kata: I’tazala ‘Anna Washil, (Washil telah memisahkan diri dari kita).
Semenjak itulah Washil dinamai dengan sebutan Mu’tazilah. Peristiwa yang diceritakan di atas dinilai oleh banyak ahli sejarah sebagai faktor utama penyebab lahirnya aliran Mu’tazilah.
Ada pula versi lain sebagaimana dijelaskan oleh al-Baghdadi bahwa Washil dan temannya ‘Amr ibn ‘Ubaid diusir oleh Hasan al-Basri dari majelisnya karena adanya perbedaan pendapat antara mereka tentang masalah qadar dan orang mukmin yang berdosa besar. Keduanya kemudian menjauhkan diri dari Hasan al-Bashri dan mereka pun disebut sebagai Mu'tazilah, yaitu orang yang memisahkan diri.
Di dalam Kitab Fajrul Islam karya Ahmad Amin menuturkan bahwa terdapat 3 hal paling penting yang menyebabkan kemunculan nama Mu'tazilah:
- Dinamakan Mu’tazilah karena Washil ibn Atha dan Amr ibn Ubaid memisahkan diri dari majelis taklim yang dipimpin oleh Hasan al-Bashri di masjid Bashrah. Washil ibn Atha memisahkan diri secara fisik (I’tazala ) dari pengajian Hasan alBashri. Orang yang memisahkan diri dinamakan Mu’tazilah.
- Dinamakan Mu’tazilah karena pendapat mereka menjauhi pendapat lain yang berkembang waktu itu. Pendapat Washil ibn Atha bahwa pelaku dosa besar tidak lagi mukmin dan juga tidak kafir (al-manzilatu bayn al-manzilatain ) telah menjauhi atau memisahkan dengan pendapat golongan-golongan lainnya. Jumhur ulama mengatakan tetap mukmin, Khawarij mengatakan kafir, dan Hasan al-Bashri berpendapat tetap mukmin namun fasik.
- Dinamakan Mu’tazilah adalah karena pelaku dosa besar berada antara mukmin dan kafir, sama halnya memisahkan diri atau menjauhkan diri dari orang mukmin yang sempurna.
Tokoh-Tokoh Mu'tazilah
Dalam perkembangannya, aliran Mu’tazilah tidak hanya berpusat di kota Basrah sebagai kota kelahirannya, tetapi juga berpusat di kota Bagdad, yang merupakan ibu kota pemerintahan. Karena itu, jika berbicara tentang tokoh pendukungnya maka kita harus melihatnya dari kedua kota tersebut. Di dalam kitab Tarikh al-Firaq Islamiyyah karya Ali Musthafa al-Ghurabi menyebutkan Tokoh-tokoh yang ada di Bashrah antara lain adalah:
Washil ibn Atha (80-131 H)
Ia dilahirkan di Madinah dan kemudian menetap di Bashrah. Ia merupakan tokoh pertama yang melahirkan aliran Mu’tazilah. Karenanya, ia diberi gelar kehormatan dengan sebutan Syaikh al-Mu’tazilah wa Qadimuha, yang berarti pimpinan sekaligus orang tertua dalam Mu’tazilah
Abu Huzail Muhammad ibn Huzail ibn Ubaidillah ibn Makhul al-Allaf.
Ia lahir di Bashrah tahun 135 dan wafat tahun 235 H. Ia lebih populer dengan panggilan al-Allaf karena rumahnya dekat dengan tempat penjualan makanan ternak. Gurunya bernama Usman al-Tawil salah seorang murid Washil ibn Atha.
Ibrahim ibn Sayyar ibn Hani al-Nazham.
Tahun kelahirannya tidak diketahui, dan wafat tahun 231 H . Ia lebih populer dengan sebutan Al-Nazhzham.
Abu Ali Muhammad ibn Ali al-Jubba’i.
Dilahirkan di Jubba sebuah kota kecil di propinsi Chuzestan Iran tahun 135 H dan wafat tahun 267 H. Panggilan akrabnya ialah Al-Jubba’i dinisbahkan kepada daerah kelahirannya di Jubba. Ia adalah ayah tiri dan juga guru dari pemuka Ahlussunnah Waljamaah Imam Abu Hasan al-Asy’ari.
Itulah empat tokoh besar Mu’tazilah di Bashrah.
Tokoh-tokoh di Baghdad
- Bisyir ibn al-Mu’tamir (wafat 226 H/840 M). Ia merupakan pendiri Mu’tazilah di Bagdad.
- Abu al-Husain al-Khayyat (wafat 300 H/912 M). Ia pemuka yang mengarang buku Al-Intishar yang berisi pembelaan terhadap serangan ibn Al-Rawandy.
- Jarullah Abul Qasim Muhammad ibn Umar (467-538 H/1075- 1144 M). Ia lebih dikenal dengan panggilan al-Zamakhsyari. Ia lahir di Khawarazm (sebelah selatan lautan Qazwen), Iran. Ia tokoh yang telah menelorkan karya tulis yang monumental yaitu Tafsir Al-Kasysyaf.
- Abul Hasan Abdul Jabbar ibn Ahmad ibn Abdullah alHamazani al-Asadi. (325-425 H). Ia lahir di Hamazan Khurasan dan wafat di Ray Teheran. Ia lebih dikenal dengan sebutan AlQadi Abdul Jabbar. Ia hidup pada masa kemunduran Mu’tazilah. Kendati demikian ia tetap berusaha mengembangkan dan menghidupkan paham-paham Mu’tazilah melalui karya tulisnya yang sangat banyak. Di antaranya yang cukup populer dan berpengaruh adalah Syarah Ushul al-Khamsah dan Al-Mughni fi Ahwali Wa al-Tauhid.
Pokok Pemikiran Mu'tazilah
Di dalam kitab Dhuha Islam karya Ahmad Amin menjelaskan bahwa kaum Mu’tazilah mempunyai lima doktrin pokok yang populer dengan sebutan al-Ushul al-Khamsah. Kelima doktrin itu adalah al-Tauhid, al-Adl, al-Wa’d wa al-Wa’id, al-Manzilah bain al-Manzilatain, dan al-Amr bi al-ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar.
Al-Tauhid
Yaitu mengesakan Tuhan. Dalam mengesakan Tuhan, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat yang berdiri sendiri di luar zat, karena akan berakibat banyaknya yang qadim. Mereka juga menolak sifat-sifat jasmaniyah (antropomorfisme) bagi Tuhan karena akan membawa tajsim dan tasybih.
Al’Adlu
Artinya adalah keadilan Tuhan. Keadilan Tuhan menurut amu’tazilah mengandung arti bahwa Tuhan wajib berbuat baik dan terbaik bagi hamba-Nya (al-shalah wal ashlah), Tuhan wajib menepati janji Tuhan wajib berbuat sesuai norma dan aturan yang ditetapkan-Nya, dan Tuhan tidak akan memberi beban di luar kemampuan seorang hamba.
Al-Wa’d wa al-Wa’id
Artinya janji dan ancaman. Kaum Mu’tazilah meyakini bahwa janji dan ancaman Tuhan untuk membalas perbuatan hamba-Nya pasti akan terlaksana. Ini bagian dari keadilan Tuhan.
Al-Manzilah bain al-Manzilatain
Artinya tempat di antara dua tempat. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar, statusnya tidak lagi mukmin dan juga tidak kafir, ia berada di antara keduanya. Doktrin inilah yang kemudian melahirkan aliran Mu’tazilah yang digagas oleh Washil ibn Atha.
Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-munkar
Artinya perintah melaksanakan perbuatan baik dan larangan perbuatan munkar. Ini merupakan kewajiban dakwah bagi setiap orang Mu’tazilah. Menurut salah seorang pemuka Mu’tazilah, Abu al-Husain alKhayyat, seseorang belum bisa diakui sebagai anggota Mu’tazilah kecuali jika sudah menganut kelima doktrin tersebut.
Kesimpulan
Dari sekilas pembahasan di atas tentang sekte Mu'tazilah mulai sejarah, tokoh dan pemikirannya dapat disimpulkan bahwa kemunculan sekte Mu'tazilah tidak murni karena dipicu persoalan politik, melainkan karena perdebatan-perdebatan secara teologis oleh Hasan Al-Bashri dan Washil bin Atha' utamanya terkait nasib manusia di akhirat.
Asumsi dasar bahwa teologi Mu'tazilah dimulai atau dipengaruhi oleh paham Qadariyah bisa dibuktikan dari sejarahnya bahwa memang Hasan Al-Bashri merupakan guru dari Washil bin Atha' meskipun disebut sebagai orang yang memisahkan dari (majlis) Hasan Al-Basrhri, oleh karena itu orang-orang yang memisahkan diri tersebut disebut sebagai Mu'tazilah.
Teologi Mutazilah ini, kelak salah satu tokohnya menjadi penentangnya dan mengembangkan mazhab sendiri yang disebut dengan Teologi Asyariyyah.
Sumber Bacaan
Islam, Fazlur Rahman
Tarikh Firaq Islamiyyah, Ali Musthofa Al-Ghurabi
Pengantar Ilmu Tauhid, Zuhri
Post a Comment