Memilih Teman Menurut Ibn ‘Athaillah (Hikam 43)
QOWIM.NET - Mutiara hikmah Ibn ‘Athaillah sebelum ini menjelaskan tentang hijrah, yakni jangan sampai perilaku dan segala bentuk tindakan kita didasari oleh kepentingan-kepentingan duniawi-bendawi semata, melainkan semata-mata hanya untuk Allah, sang pemilik dunia dan segala materi di dalamnya.
Sebenarnya secara eksplisit sangat berkelit-kelindan dengan aforisme yang ke 43 ini, yakni untuk mencapai jalan menuju Allah, harusnya dengan memilih teman yang tepat sekaligus bisa mengantarkan kita kepada Allah, bukan selain Allah. Kenapa teman?, ya sebab teman adalah bagian dari lingkungan kita yang paling kerap kita temui sehari, dan sebagian besar perkembangan manusia didominasi dan dibentuk oleh lingkungannya.
Dengan kalimat lain bahwa, jika seseorang berada di lingkungan yang buruk, maka ia akan menjadi buruk pula, begitu sebaliknya, jika seseorang berada di lingkungan yang baik, maka ia akan menjadi baik pula. Sudah banyak contohnya kebenaran sintesa tersebut, kita tak perlu membuktikannya secara empiris.
Sebagai blog pribadi, saya mempunyai pandangan bahwa...
Dari sekian banyak sub-lingkungan kita, kesempatan ini Mbah ‘Athaillah memfokuskan pada teman, bagaimana kita memilih teman. Melihat pengaruh teman adalah sangat besar, sebagaimana pepatan Barat mengatakan you are the people you spend time with.
Mbah ‘Athaillah mengatakan bahwa;
لا تصحب من لاينهضك حاله ولايدلك على الله مقاله
Janganlah engkau berteman dengan seseorang yang perilakunya dan perkataannya tidak bisa membangkitkanmu sekaligus menunjukkanmu kepada jalan Allah.
Menurut al-‘Abbadi, kata al-Hal yang dimaksud oleh Mbah ‘Athaillah adalah sebuah kondisi jiwa seseorang yang selalu bergantung hanya kepada Allah semata, tidak kepada manusia atau makhluk lain, sebab sesuatu yang selain Allah pada hakekatnya tidaklah memiliki kuasa atas apapun, baik kebaikan maupun keburukannya, bahkan ia sendiri tidak berpikir sedikitpun bahwa dirinya sendiri adalah penting. Inilah kondisi jiwa yang bisa membangkitkan kita kepada Allah yang maha segalanya.
Penjelasan di atas memang terkesan meremehkan sesuatu selain Allah, bukan terkesan lagi, ya memang begitu bahwa selain Allah adalah tidak ada. Pemahaman seperti ini memang sulit diidentifikasi di dalam pribadi seseorang, tapi setidaknya jika kita bisa memahami hal tersebut dengan baik, mungkin kita akan bisa mengidentifikasi seseorang yang mempunyai sifat demikian, karena sesuatu yang pernah kita rasakan akan kita ketahui gerak-geriknya kepada orang yang merasakan hal yang sama dengan kita.
Senada dengan penjelasan di atas, menurut Said Ramdhan al-Buthi yang kebetulan juga menulis syarh Hikam, mengatakan bahwa lewat aforisma tersebut, Mbah ‘Athaillah menghimbau kepada kita agar selalu istiqamah secara terus-menerus di dalam bergaul dengan orang-orang saleh, para ulama’ yang mempunyai dua sifat.
Hati yang Selalu Bersama Allah
Pertama yakni orang saleh yang kondisi hatinya selalu bersamaan dengan Allah, yang akan selalu mendorong jiwa kita agar kembali ke jalan yang benar dan menyegerakan kita untuk selalu bertaubat kepada Allah.
Selalu Mendapatkan Nasehat
Orang saleh yang selalu memberikan nasehat-nasehat kebaikan kepada para hamba Allah. dengan nasehat-nasehat yang kita dapatkan akan memberikan kita pengetahuan tentang mana jalan yang benar dan mana jalan yang buruk, menghindarkan kita dari perkara-perkara yang tidak jelas/samar (subhat), sekaligus menuntun kita untuk tidak berbangga diri dan sombong dengan status sosial, atribut, dan pakaian yang kita kenakan.
Kembali pada pembahasan awal, bahwa kenapa Mbah ‘Athaillah memberikan kategori teman dengan kondisi jiwanya, bukan dilihat dari kemapanan istiqamah ibadahnya, seperti shalat dan puasa. Tidak lain, pemahaman saya, hal ini disebabkan shalat dan puasa, di samping sebagai rukun islam, tetapi tidak bisa dijadikan tolok ukur kemapanan dan keteguhan sikap.
Peranan Salat
Sebagaimana dijelaskan di dalam al-Qur’an bahwa shalat adalah untuk mengingatku (lidzikri), di ayat lain juga untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar (QS. al-Ankabut; 45), jadi sebenarnya shalat adalah perantara atau mediasi untuk selalu menghadirkan Allah di dalam diri kita, meskipun ketika sedang shalat, pikiran dan bayangan kita sering kali menuju selain Allah, alih-alih ingin dipuji manusia dan dinilai sebagai orang yang sering shalat.
Sama halnya dengan puasa, puasa juga hanya mediasi yang mempunyai tujuan agar kita bertambah ketakwaan kepada Allah, sebagaimana dijelaskan di dalam al-Qur’an al-Baqarah; 183. Dengan kata lain, apabila kita berpuasa tapi tidak bertambah ketakwaan kita kepada Allah, maka bisa dibilang puasa kita sia-sia, kita tidak mendapatkan apa-apa kecuali haus dan lapar.
Hal ini bukan berarti puasa itu tidak penting, tidak sama sekali. Puasa tetap dalam porsinya sebagai rukun islam, yang sangat fundamental dan bersifat teologis, tapi jangan hanya dijadikan sebagai rutinitas belaka, puasa itu penting, tapi tidak yang paling penting, yang paling penting adalah penghayatan kita tentang ibadah puasa tersebut.
Dengan demikian, tidak pernah bisa menjamin orang yang rajin puasa, rajin shalat sunnah itu mempunyai kemapanan dan keteguhan sikap yang bijaksana bahkan mencapai derajat ma’rifatullah.
Artinya, hal itu tidak bisa dijadikan satu-satunya pertanda bahwa ia adalah orang arif kepada Allah. alih-alih, biasanya orang yang hanya rajin ibadah secara ritual itu sering menyalahkan atau bahkan menganggap orang lain yang tidak melakukan ibadah yang seperti ia lakukan adalah sebuah keburukan.
Misalnya, kita sering shalat dhuha, tapi menjelek-jelekkan orang yang tidak shalat dhuha, kita rajin shalat tahajud, tapi mengolok-olok orang yang tidak shalat tahajud, kita sering berpuasa sunnah, tapi melihat orang yang tidak puasa, lalu kita menganggap bahwa kita lebih baik dari mereka yang tidak berpuasa.
Ini adalah awal dari terjebak di lubang kebodohan yang nyata, Akibatnya adalah merasa sombong, padahal segala makhluk di dunia ini tidak ada yang berhak sombong, kesombongan hanya milik Allah, jika kita sombong, berarti sebenarnya kita ingin menandingin Allah. naudzubillah.
Kembali ke aforisma Mbah ‘Athaillah di atas, kita sebagai tingkatan salik yang ingin menuju kepada Allah, sebaiknya menjauhi orang-orang yang tidak bisa mengantarkan kita kepada ma’rifatullah, baik dilihat dari aspek kondisi jiwa (hal) dan kalimat-kalimat nasehatnya, hal ini bukan berarti kita tidak boleh bergaul dengan orang-orang yang kondisi jiwanya labil dan kata-kata yang keluar dari mulutnya semuanya tidak bermanfaat, tidak sama sekali.
Hanya saja, ditakutkan kita akan terpengaruh oleh mereka, dalam tingkatan yang lain, yang seharusnya berperan untuk menyadarkan dan bergaul dengan mereka adalah orang-orang yang sudah wushul dan ma’rifatullah, sebagaimana yang dilakukan oleh para waliyullah yang berdakwah di tempat-tempat yang tidak semestinya.
Sebaiknya kita selalu menjaga diri kita, memurnikan lagi perbuatan-perbuatan kita, hanya semata-mata kerena Allah, tidak ada alasan lain selain karena Allah, oleh karena itu, Allah, Allah, Allah, Allah. Allah selalu, Allah terus, Allah segalanya Allah.
Penutup
Semoga tulisan ini tidak ada niatan demi popularitas, ajang unjuk kebolehan, kepintaran, dan lain sebagainya, semoga ini bisa bermanfaat, saya hanya yakin bahwa segala yang terjadi di dunia, sekecil apapun, tidak akan pernah sia-sia, karenanya saya selalu ingin melakukan hal-hal yang saya bisa, meskipun untuk murni dan ikhlas karena Allah itu sulitnya tidak ketulungan, tapi saya yakin suatu hari pasti akan bisa, pasti akan berhasil, pasti pasti pasti.
setuju..!! dengan artikel/makalah/apapun namanya, saya nderek mbaca nggeh.. hehe
sip kang mus, lanjutkan tulisan nya..
salam dari Balikpapan..
saling mendoakan mas :)