Penulisan Huruf Miring, Kapan Kita Menggunakannya?
Hampir sebulan saya tidak update tulisan tentang bahasa Indonesia di blog ini, terkahir saya menulis tentang partikel -lah, -kah dan -tah. Kali ini saya ingin membahas tentang penulisan huruf miring. Tulisan ini sebagai pengingat saya sendiri saja sebenarnya, sebab beberapa kali saya sering tersandung kebingungan kapan menggunakan huruf miring ketika menulis.
qowim.net |
Pengantar
Sebagai seorang dosen yang sehari-hari tidak lepas dari dunia tulis-menulis tentang sangat membutuhkan pengingat ini.
Saya ingat pepatah yang menyebutkan "Ikatlah ilmu dengan menulisnya."
Jadi, anggap saja tulisan yang berjudul "Penulisan Huruf Miring" ini menjadi pengikat agar tidak mudah hilang. Sehingga, menulis miring sudah menjadi kebiasaan dan reflek saja, tanpa mikir lagi.
Sama seperti ketika menulis huruf kapital, sepertinya sudah otomatis dari jari-jemari ini kapan harus kapital, kapan tidak menggunakan huruf kapital.
Oke, begini. Ada tiga kaidah pokok yang perlu diingat terkait dengan cara penulisan huruf miring ini. Saya akan menjelaskan secara singkat saja disertai dengan contoh-contoh yang mudah untuk memahaminya.
3 Kaidah Penulisan Huruf Miring dalam Bahasa Indonesia
Tiga kaidah ini saya ambil dari penjelasan Sugihastuti dan Siti Saudah dalam bukunya berjudul Buku Ajar Bahasa Indonesia Akademik. Jika saya amati, penulisan huruf miring ini bergantung pada fungsi dan tujuannya seperti apa.
Nama Buku, Majalah dan Surat Kabar
Tiap terbitan misalnya buku, majalah dan surat kabar harus ditulis miring. Bila kita menyebutkan judul sebuah buku, majalan atau surat kabar di dalam tulisan kita, maka hendaknya ditulis miring.
Contoh:
- Rina membaca koran Kompas hari ini.
- Buku Ratih Kumala berjudul Gadis Kretek telah difilmkan di tahun 2023.
- Pada usia remaja, saya berlangganan majalah Horizon.
Pada contoh di atas, nomor satu kata Kompas tertulis miring sebab nama surat kabar, sedangkan nomor dua merupakan judul sebuah novel Gadis Kretek jadi tertulis miring dan kata Horizon tertulis miring sebab nama dari majalah sastra. Sekarang sepertinya sudah tidak terbit lagi.
Pengecualian: Jika Anda mengutip skripsi, tesis dan disertasi maka dikutip dengan menggunakan tanda petik, bukan huruf miring. Sebab karya tersebut belum terpublikasi.
Berfungsi untuk Menegaskan atau Mengkhususkan
Terkadang kita perlu mengkhususkan kata, huruf dan kelompok kata dalam penulisan. Terutama ini dalam hal penulisan tema-tema bahasa Indonesia. Biasanya sangat memerlukan teknis seperti ini.
Contoh:
- Pada kata buku huruf pertamanya adalah b.
Kata Buku ditulis miring sebab untuk menegaskan, begitu pula dengan huruf a. - Dia tidak makan roti, melainkan nasi.
- Tulisan ini tidak membicarakan soal huruf kapital.
- Jangan lepas tangan jika ada masalah yang menimpa di organisasi ini.
Kata dan kelompok kata seperti roti, nasi, tidak dan lepas tangan merupakan bentuk penegasan. Hal itu berguna untuk memberikan penekanan penjelasan dan perhatian bagi pembaca.
Menuliskan Kata dan Istilah dari Bahasa Asing
Ketika kita menulis dalam bahasa Indonesia, maka istilah-istilah asing harus ditulis miring. Misalnya pada contoh kalimat sebagai berikut;
- Tazkiyatun Nafs merupakan salah satu cara untuk mencapai derajat ma'rifatullah.
- Pandangan dunia atau Weltanschaung selalu dipengaruhi oleh kondisi budaya masing-masing indivudu.
- Nama ilmiah buah manggis adalah Carcinia mangostana.
Ketiga contoh di atas, pada kata dan frasa yang dicetak miring dari bahasa asing, jadi penulisannya menggunakan huruf miring.
Namun, bila sebuah kata telah diserap menjadi bahasa Indonesia, maka penulisannya tidak lagi miring melainkan disamakan dengan bahasa Indonesia. Misalnya pada kata Al-Qur'an, kata tersebut sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia, jadi penulisannya tak perlu miring.
BACA JUGA: Bagaimana cara penulisan Alquran, Al-Quran atau Al-Qur'an?
Penutup
Demikian tulisan tentang cara penulisan huruf miring dan penggunaannya dalam bahasa Indonesia. Sebagai pengguna bahasa Indonesia, kita harus selalu berusaha untuk praktik dalam menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidahnya.
Bahasa tidak hanya bertujuan untuk memahamkan, tetapi juga sistem yang harus terpenuhi. Bukankah sistem berbahasa juga bertujuan untuk memahamkan pembaca?