Bertindak Rasional dalam Boikot
"Mas, kok MUI langsung mengharamkan produk afiliasi Israel, sih?" kata istri ketika sedang memasak untuk sarapan keluarga kecil kami. Saya yang sedang nongkrong di depan meja sejenak berpikir untuk jawaban yang paling rasional. Memang, ada beberapa produk yang kami gunakan di rumah merupakan produk yang berafilasi ke Israel. Dan kemungkinan besar juga banyak di rumah-rumah keluarga kecil di Indonesia.
“Terus bagaimana nasib para penjual produk-produk itu yang ada di toko kelontong, pasar dan lainnya?” Itu pertanyaan selanjutnya yang membuat saya menghela napas terlebih dulu.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 10 November 2023 memberi fatwa haram yang berbunyi pada poin ke-4 "Mendukung agresi Israel terhadap Palestina atau pihak yang mendukung Israel baik langsung maupun tidak langsung hukumnya haram." Poin nomor empat tersebut lalu diterjemahkan bahwa segala produk yang berafiliasi Israel hukumnya haram digunakan.
boycott |
Gerakan Boikot Apakah Berpengaruh?
Mungkin jawabannya tidak sepenuhnya. Lebih tepatnya tidak untuk sekarang. Arman Dhani dalam tulisannya berjudul Boikot menuliskan bahwa "Kampanye Boikot adalah perjalanan panjang, bukan lari cepat." Ia menyitir kejadian Senat Irlandia yang menyetujui The Occupied Territories Bill pada tahun 2108. Kejadian tersebut memberi sanksi bagi perusahaan yang mengimpor produk dari wilayah jajahan Israel di Palestina.
Beberapa gerakan boikot yang lain juga disebut oleh Dhani antara lain Prancis yang pernah didesak karena menjual senjata ke Arab Saudi, Uniterd Methodist Church yang mengancam menarik dana investasi lima bank Amerika yang mendukung Israel, tahun 2017 buruh AICE malakukan boikot dengan memaksa 600 buruh harus diangkat sebagai pegawai tetap.
Berpengaruh atau tidak, sulit untuk kita lihat secara kasat mata atau dalam waktu yang cepat. Tetapi usaha tersebut paling tidak memberikan gangguan terhadap kondisi politik atau ekonomi. Gangguan tersebut setidaknya bisa dipertimbangkan untuk menekan bahwa tuntutan harus segera dituruti.
Gerakan boikot dalam rangka menekan Israel tidak hanya diusung berdasarkan agama secara teologis, melainkan juga berdasarkan kemanusiaan dan sosial. Sebab ramai di media sosial yang menyebutkan “Tak perlu jadi orang hebat untuk membela Palestina, Anda hanya butuh menjadi manusia saja.”
Tindakan Rasional dalam Gerakan Boikot
Melakukan tindakan boikot yang berdasar pada semangat kemanusiaan untuk menekan Israel merupakan langkah paling niscaya untuk dilakukan oleh semua orang. Namun jangan lupa sering kali rasa semangat itu mendorong seseorang bertindak bodoh.
Saya pernah melihat di media sosial X ada beberapa kelompok masyarakat yang membakar air minum dalam kemasan karena merupakan salah satu produk afiliasi Israel. Apakah itu aksi yang bisa “mengganggu” stabilitas ekonomi Yahudi? Saya kira harus menjawab satu pertanyaan mendasar. Apakah barang tersebut sudah terbeli baru kemudian dibakar?
Jika jawabannya adalah “Iya,” niscaya itulah tindakan yang tidak rasional (untuk tidak mengatakan bodoh).
Mengapa? Boikot itu fokus pada membuat kericuhan dan ketergangguan ekonomi dan politik. Jika sebuah barang tersebut telah dibeli lalu dibakar, bukankah secara ekonomi juga pelaku bisnis produk tersebut telah mendapatkan untung? Sebab sudah menerima pembayarannya.
Yang tepat bagaimana? Habiskan dulu semua produk-produk yang sudah terbeli dan selanjutnya tak perlu membelinya lagi. Terutama bagi para penjual-penjual kecil yang ada di pasar, toko kelontong dan lain-lain. Itu juga
Lagi pula tindakan membakar itu nantinya dikhawatirkan justru terjerembab di lubang mubazir. Sedangkan mubazir bisa membuat seseorang jadi berkawan dengan setan.
Soal yang sama juga pada produk-produk nonmakanan atau yang tidak dikonsumsi. Boikot produk Israel bukan berarti membuang produk yang sudah pernah kita beli, malainkan berhenti membeli produk tersebut untuk yang akan datang. Jika memang sudah anti dengan produk tersebut, bisa didonasikan saja ke orang yang lebih membutuhkan, bukan dibakar. Hal tersebut jauh lebih bermanfaat, bukan?
Selanjutnya, ada produk yang tidak bisa kita hindari seperti media sosial, mesin pencari Google dan layanan penyedia internet. Ada kawan saya yang nyelethuk “Boikot produk Israel tapi masih menggunakan facebook, instragram dan Google. Tidak konsisten namanya.”
Ya, memang. Kita tak bisa menghindari itu. Namun, menggunakan semua alat itu merupakan wujud ketidakkonsistenan gerakan boikot ini? Jawabanya tentu tidak. Gerakan boikot produk Israel bukan dengan cara membabi buta dengan memblokir semua akses pada produk, tapi juga memilih dan memilah sejauh mana kita bisa melaksanakannya. Jika tak bisa menghindari, ya sudah. Fokus saja pada hal-hal yang bisa dihindari.
Lagi pula, ada kaidah usul fikih dalam kontek sini ma la yudraku kulluh, la yutraku kulluh. Jika tak bisa melakukan (boikot) semua hal, jangan jadi alasan untuk meninggalkan (aksi boikot) semua hal tersebut.
Saran untuk MUI
Mungkin saran untuk MUI adalah juga memberikan sosialisasi bagaimana cara memboikot yang benar dan sesuai dengan syariat Islam. Kalau perlu membuat juknis juga yang lengkap dan praktis-aplikatif.
Dari beberapa produk yang terpajang di rak dapur saya memang terafiliasi produk Israel, namun bukankah juga telah tersertifikasi halal oleh MUI? Menunjukkan bahwa produk tersebut halal untuk dikonsumsi. Lagi pula, kebodohan saya adalah tidak teliti dalam membeli sebuah produk. Setelah produk-produk di rak kami habis, selanjutnya tak akan membeli lagi.
Mungkin tindakan itu tidak seberapa untuk “mengganggu” stabilitas ekonomi Israel, namun jika kegiatan ini dilakukan oleh semua warga Indonesia, bahkan dunia niscaya akan mempengaruhi juga.
Post a Comment