Yahya Menggunakan ChatGPT untuk Pertama Kali

Table of Contents
“namaku yahya namamu siapa?” Tulisnya di kolom chat.
“Hai Yahya! Namaku ChatGPT. Senang bisa ngobrol dengan kamu! 😊 Ada yang bisa kubantu hari ini?”

Membaca jawaban itu saya melihat wajahnya kegirangan senang sambil bertanya-tanya kok bisa, kok bisa.

(histori percakapan ini akan saya lampirkan tautannya di akhir tulisan)


Dokumentasi pribadi

Itu adalah kali pertama Yahya ngobrol dengan ChatGPT.

Sebelumnya saya khawatir mengenalkannya dengan AI, tapi saya berubah pikiran ketika di hari Selasa. Itu adalah harinya belajar komputer.

Saya rasa ini sebuah capaian karena sudah tiga bulan tidak ada acara mengganti jadwal lagi.

Beberapa kali saya mengajarkan menggunakan aplikasi Paint lalu microsoft office. Ia terlihat sangat bosan, apalagi dengan menggunakan tetikus (mouse) yang kursornya sering lari-lari itu. Ia sering merasa jenuh dan mengeluh karena harus pelan-pelan. Terus terang kemampuan motoriknya, menurut saya memang kurang terlatih.

Peristiwa-peristiwa itu membuat saya berpikir.

“Ini cara saya dulu pertama kali belajar komputer, kenapa cara itu saya terapkan ke Yahya? sedangkan zaman sudah berbeda, bahkan berkembang sedemikian pesat.” Saya membatin. Dan saya harus mengubah media pembelajarannya.

“Yahya mau nggak ngobrol dengan robot?” Ucap saya menawarkan, kata robot memang sengaja saya pilih, alih-alih AI (kecerdasan buatan).

“Hah, robot?” wajahnya berbinar melihat ke arah saya.

“Iya robot, tapi di komputer, bukan robot yang seperti di YouTube itu,” saya menerangkan.

Dia sangat senang mendengarnya lalu saya buka peramban (browser) di komputer lalu mengetik Chat Open AI. Dan terjadilah percakapan yang saya jadikan pembuka tulisan ini.

Pertama, ia kebingungan mau mengetik apa. Saya membimbingnya mulai mengenalkan nama dan usia. Setelah memperkenalkan nama, saya lalu memintanya mencoba untuk bertanya tentang umur.

“umurku 6 tahun. umurmu berapa?” Ia mengetik begitu lama karena masih mencari-cari huruf di keyboard komputer.

“Wah, Yahya masih kecil banget ya, umur 6 tahun! 😊 Umurku nggak bisa dihitung seperti manusia, karena aku adalah robot pintar yang selalu siap membantu. Tapi aku diciptakan untuk belajar dan ngobrol dengan siapa saja, termasuk Yahya! 🌟 (cetak tebal dari saya)

Apa yang Yahya suka lakukan di waktu luang?”

Saya, sejujurnya juga takjub dengan respons ChatGPT yang bisa sehangat itu. Sesederhana memunculkan emotikon dan menyebut nama untuk mengganti kata Anda. Untuk anak kecil, biasanya saya, atau bahkan kebanyakan dari kita memang menyebut namanya, bukan kamu apalagi Anda.

Dan itu dilakukan oleh ChatGPT.

Sejauh saya berkomunikasi dengan ChatGPT ia hanya merespons misalnya “Apakah Anda sepakat dengan ini?” alih-alih “apakah Qowim sepakat dengan ini?” Apalagi ada emotikon, wah saya belum pernah mengalaminya.

Kembali pada pembahasan Yahya yang menggunakan ChatGPT untuk pertama kalinya, saya mencatat dua hal yang semoga ini bermanfaat bagi Anda yang ingin mengenalkan ChatGPT juga kepada anak, keponakan atau bahkan murid-muridnya di sekolah.

Berlatih menulis, membaca dan memahami

Bagi saya, berkomunikasi dengan ChatGPT bisa menjadi latihan anak untuk menulis dan mengungkapkan perasaannya. Apalagi, respons ChatGPT memang sangat aktif dan bisa memberikan stimulasi pikiran anak. Coba perhatikan kalimat terakhir “Apa yang Yahya suka lakukan di waktu luang?”

Mendapatkan pertanyaan itu, Yahya langsung bertanya sama saya “Bapak, waktu luang itu apa?”

Saat sudah memahaminya, ia kemudian menjawab secara pelan-pelan. Ia menceritakan soal temannya Zafran (Ya, dia teman Yahya yang beberapa waktu lalu terpapar gondongan).

Hal ini menurut saya sekali tepuk dua lalat.

Materi bahasa Indonesia yang saya sampaikan tidak pernah seasyik ini. Serius! Ia benar-benar berlatih praktik mengetik, menulis huruf per huruf, menggunakan spasi, tanda baca, membaca balasan dan juga memahaminya.

Tapi ada hal yang harus dibayar lunas, yaitu kesabaran. Sabar di atas segalanya jika menemaninya seperti ini. Berkali-kali saya gregetan dibuatnya. Tapi saya selalu berusaha untuk sabar.

Saya memberikan pemahaman tentang tanda baca seperti titik, koma, tanda tanya dan juga tanda seru. Kapitalisasi huruf ia masih kebingungan.

Mencari Informasi

Menjelaskan tentang fungsi ini kepada Yahya mungkin bersifat terlalu dini, anak berusia 6 tahun apa sih yang ingin dicari, informasi apa yang membuatnya penasaran untuk bertanya. Tapi, anggapan saya itu ternyata keliru. Sepertinya saya terlalu menarik dia ke dunia saya waktu saya masih kecil.

“Yahya bisa tanya apa saja ke robot pintar ini.” Ungkap saya. Awalnya ia tidak percaya, saya lupa bahwa ChatGPT juga bisa salah memberi informasi. Buru-buru saya tambahkan kalimatnya “barangkali dia bisa jawab.”

Saya kaget ketika Yahya bertanya tentang jumlah penduduk di Indonesia. Ini di luar dugaan saya sebagai orang tuanya. Dari mana ia bisa bertanya seperti itu?

Ia terkesan dengan jawaban yang diberikan oleh ChatGPT. Sekarang ia tahu bahwa jumlah penduduk di Indonesia itu lebih dari 270 juta orang.

ChatGPT memang benar-benar seperti “manusia.” Yahya berpikir bahwa semua respons yang dikirim oleh ChatGPT harus dibalas juga hingga ia bingung bagaimana cara merampungkan percakapan.

Ketika saya meminta untuk selesai ia justru mengatakan “Ini masih ditanya, gimana ini?” Saya menyarankan untuk berpamitan dengan ChatGPT.

Lalu ia pamit dengan “Sudah ya” kemudian menuliskan “daaa” Melihat tingkahnya seperti itu saya geli sendiri. Ia merasa memiliki teman robot pintar.

Hal terakhir yang membuat saya terkesan adalah ketika ChatGPT melakukan kesalahan ketik (saltik) dari kata menyenangkan menjadi menyenankan. Yahya membacanya dan mengatakan bahwa itu hurufnya ada yang kurang. Saya meminta untuk memberikan koreksi bagaimana yang benar, sambil saya bimbing menyusun kalimat yang sesuai dengan pemahamannya, ia akhirnya bisa melakukan dan ditanggapi baik oleh ChatGPT.

Dari kesalahan tersebut saya mendapatkan momentum yang pas untuk masuk dan memberikannya pemahaman tentang robot pintar itu.

“ChatGPT ini bisa membantu kita, tapi bukan berarti dia selalu benar, kadang-kadang dia salah juga, namanya juga robot.” Ia mengangguk, tapi saya sangsi apakah ia benar-benar paham apa yang saya maksud.

Terakhir, saya hanya ingin agar dia belajar menggunakan teknologi dengan baik, tapi jangan sampai menggantikan kreativitas dan daya kritis dengan mempercayai semua yang dijelaskan oleh AI.

Peristiwa ini sebenarnya mengubah banyak persepsi saya tentang anak dan perkembangan zaman terutama IT. Sepertinya saya tidak lagi menggunakan aplikasi Paint dan Microsoft Office untuk dijadikan sebagai panduan belajar komputer di hari Selasa. Saya coba berkolaborasi nanti antara saya, Yahya dan ChatGPT dalam menentukan sistem pembelajaran di rumah (homescholing).

Riwayat obrolan Yahya dengan ChatGPT bisa dilihat di sini.

Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: janurmusthofa@gmail.com

Post a Comment