Lebaran di Kota Kudus
Satu kutipan untuk mengawali tulisan ini berasal dari Prie GS (almarhum), namun saya lupa redaksi tepatnya seperti apa. Lebih kurang begini “Pulang kampung adalah pertemuan manusia dengan sejarahnya, dengan akarnya.”Dan itulah yang saya rasakan dan menyadarinya di tahun ini.
Sebenarnya, tahun ini jadwal giliran lebaran di Tulungagung, namun karena ada satu acara yang wajib didatangi, kami bersepakat untuk lebaran di kota Kudus. Sebelum bulan puasa kami menyempatkan waktu untuk sowan ke Tulungagung untuk berpamitan sekaligus memberi kabar bahwa lebaran tidak bisa berkunjung sekaligus merencanakan lebaran Iduladha akan ke Tulungagung.
Pulang kampung memang bukan perkara sederhana, setidaknya bagi keluarga kami. Saya berasal dari Kudus, istri dari Tulungagung, namun kami ditakdirkan hidup di Bantul Yogyakarta. Ada banyak yang bisa kami maknai dari takdir itu, salah satunya adalah mudik. Kami harus merencanakan mudik jauh-jauh hari agar peristiwa demi peristiwa kami lalui dengan lebih baik.
Kami harus berembug terlebih dulu misalnya tentang mau lebaran di mana, berapa hari, naik apa dan berapa alokasi dana yang harus dikeluarkan. Rangkaian hal-hal teknis itu kami lakukan untuk memastikan agar semua berjalan baik-baik saja.
Kembali pada kutipan Prie GS di atas. Saya merasakan banyak hal berubah di kota ini, mulai dari kendaraan yang makin banyak yang membuat jalan makin sesak, hingga bangunan-bangunan yang juga bertumbuh. Saya kira tak hanya kota ini yang berubah, kota-kota lain di penjuru nusantara saya kira juga demikian.
15 tahun saya hidup di kota ini sebelum akhirnya merantau ke Bantul hingga sekarang. Tiap saya menyusuri jalanan mendatangkan sekelebat bayangan masa kecil saya dulu, saya belajar ngaji, bersekolah, bermain bahkan melirik tempat yang dulu saya jadikan tempat bolos untuk bermain PS. Meski tempat itu sudah berganti usaha, bayang-bayang itu tetap saja muncul di benak saya.
Mengapa saya dulu melakukan hal-hal bodoh?
Pertanyaan itu tiba-tiba muncul begitu saja. Menjawab pertanyaan mengapatentu saja tidak sederhana, tapi saya menyadari satu hal: saya tidak protes, sebab itu tak ada gunanya dan tidak mungkin mengubah masa lalu. Menyesal itu pasti, menyalahkan diri sendiri juga pasti, namun saya tidak (boleh) berhenti di satu titik itu.
Membiarkan saya terbenam di masa lalu membuat saya menyalahkan diri sendiri. Dan saya tahu itu tidak baik untuk diri sendiri di masa depan.
Saya mencoba memaknai kesalahan itu dan berusaha untuk tidak mengulanginya lagi, meskipun sebenarnya saya pernah mengulangi kesalahan yang sama, setidaknya saya sudah berusaha. Tak ada keledai yang jatuh di lubang yang sama, tapi saya melakukannya.
Momentum lebaran seperti ini sebenarnya menjadi cerminan diri, dan hal pertama yang perlu dimintai maaf dan memaafkan adalah diri sendiri, sebelum nantinya meminta maaf sekaligus memaafkan orang lain.
Menemui sejarah dan mencari akar (diri sendiri) adalah cara pertama bagi manusia untuk mengenali diri sendiri. Konon otak kita didesain mudah merekam hal-hal buruk daripada hal-hal baik. Oleh sebab itu, menurut saya menemui sejarah buruk diri sendiri adalah bagian dari pencarian jati diri manusia.
Dengan mengetahui sekaligus menyadari kesalahan akan melahirkan penyesalan, dan kata Rasulullah Muhammad “Penyesalan adalah setengah dari taubat.” Kata taubat secara bahasa artinya kembali. Kembali menurut saya adalah kembali pada kemurnian diri bahwa pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah; bersih, suci. Dalam lanskap yang lebih luas, manusia akan kembali kepada pencipta-Nya (QS. Al-Ghasyiyah: 25)
![]() |
Salat Idulfitri di Kudus. Dokumentasi Pribadi (31 Maret 2025) |
Awalnya saya ingin menulis tentang foto di bawah ini, namun entah kenapa jemari dan pikiran justru melenceng dari rencana awal. Proses kreatif menulis kadang kala seperti ini, ingin menulis apa jadinya seperti apa. Apakah Anda pernah mengalaminya?
Ketika memotret peristiwa ini, saya berpikir seandainya salat lima waktu keramaian masjid seperti ini, tentunya akan menciptakan fenomena yang luar biasa. Sayangnya, atau beruntungnya itu tidak terjadi. Sebab hal ini bisa mengganggu lalu lintas laju kendaraan setiap waktu salat tiba. Jalan depan masjid ini adalah jalan kota yang dilalui oleh banyak kendaraan.
Lebih penting mana antara salat lima waktu berjamaah dengan mengganggu lalu lintas, atau biarkan masyarakat juga berjamaah di masing-masing rumah mereka dan tidak mengganggu lalu lintas umum
Dalam sekali waktu salat Idulfitri yang tidak lebih dari 1 jam, masjid Jami’ Darussalam ini berhasil mengantongi uang sekitar 55jt rupiah dan itu tidak ada pajaknya. Hehehe.
Terbit pertama di Medium pada 1 April 2025
Post a Comment